Majlis Maiyah Telatah Demak

Umbul-Umbul Mumbul

Hore merdeka!!! Bahagia, gembira, senang, pokoknya riang tak terkira. Begitu kira-kira apa yang dirasakan anak-anak menjelang 17an. Ada bermacam lomba dan permainan dan banyak sekali hadiah yang ditawarkan bagi mereka yang ikut. Ada balap karung, makan kerupuk, lomba menari, menyanyi, sampai lomba sepak bola pakai sarung dan lain sebagainya.

Meski dari banyaknya anak-anak yang merasa bahagia, gembira, senang dengan tertawa, bercanda bersama teman-temannya, ada juga yang menangis karena kalah dalam perlombaan. Namun tidak mengapa karena sebentar saja akan diam dan kembali bahagia. Bergabung lagi dengan teman-teman lainnya.

Begitu disayangkan, karena kemerdekaan yang mereka rasakan hanya gambling saja. Karena di tahun-tahun mendatang belum tentu kemerdekaan itu mereka rasakan lagi. Akan ada kemerdekaan baru yang bukan milik mereka. Kemerdekaan baru yang menjadi milik manusia-manusia, yang merasa berhak memiliki negeri, merasa telah membeli negeri ini untuk suatu tujuan tertentu.

Bukanlah hal baru. Sebab semacam itu sudah lama terjadi, bahkan sejak jaman kolonial. Namun setelah jaman kemerdekaan, metode penjajah tidak lagi menggunakan metode lama. Karena tidak lagi efektif dan dianggap sebagai sebuah pelanggaran kemanusiaan—menurut wasit yang merangkap pemain atau pemain merangkap wasit. Namun apalah artinya kemanusiaan, selama bendera propaganda kepentingan masih berkibar. Tidak peduli itu kolonialis maupun nasionalis, mereka tetap rela mengorbankan bangsa dan rakyaknya, demi mencapai kepentingan-kepentingan tersebut.

Terlebih di negeri yang sangat kaya ini. Begitu bahenol untuk dikruwes, dinikmati dan dikangkangi. Sejengkal tanahnya tidak ada yang tidak seksi. Setiap sudutnya begitu sangat menggoda, menyulut nafsu untuk dikondisikan dan dikembangkan. Tidak ada yang tidak proporsional di dalam alam raya negri ini. Segalanya mengandung kekayaan alam yang melimpah ruah. Namun tidak semua masyarakatnya dapat menikmati hasil bumi yang dimiliki negri ini. Malah (satu per satu, perlahan kemudian) semuanya ditawar-tawarkan kepada maling-maling. Mungkin yang menawarkannya pun maling juga. Hanya saja, satunya tuan rumah sendiri, satunya tamu.

Begitu lihainya para maling, hingga rakyat tidak menyadari bahwa mereka telah dimaling. Di maling  tidak dengan cara serampangan tapi dengan cara investasi. Atas nama keuntungan masyarakat, kekayaan alam mereka dirampok dan dimaling. Terus menerus digerus hingga tak tersisa dan akan terus digerus hingga tak ada lagi apa-apa.

Senyum dan tawa polos anak-anak itu seperti tak memiliki beban apa-apa. Mereka tak menyadari, kelak bendera dan umbul-umbul itu akan mumbul, terbang entah kemana. Kelak negeri ini akan menjadi apa dan dikuasai siapa. Mereka tidak tahu.

 

Demak, 8 agustus 2018

Han Asuy, nama pena dari nama asli Handoko Sulistyo. Jamaah Maiyah Kalijagan, bekerja sebagai karyawan swasta. Tinggal di Bates, Sayung, Demak.