Majlis Maiyah Telatah Demak

Kita Pernah Punya Desa

Reportase Majlis Maiyah Kalijagan edisi Jum’at Legi, 6 April 2018/ 20 Rajab 1439 | Desa Purwa

 

Esai-esai Emha Ainun Nadjib yang terbit pada dekade 70-an dterbitkan dalam sebuah buku berjudul “Indonesia Bagian dari Desa Saya”. Cetakan kedua buku ini terbit pada Juni 1992 oleh penerbit Sipress. Buku yang dipengantari oleh YB. Mangunwijaya ini berkaver marun dan menampilkan lukisan Cak Nun yang berambut lebat dan berkumis tebal, seseorang yang dikenal publik sebagai budayawan, penyair, kiai mbeling, dan segala julukan yang lain mengajak berdiskusi tentang berbagai macam topik.

Buku ini banyak membicarakan tentang desa sebagaimana judulnya. Dalam esai pertama berjudul “Nonton Pisyi”, kita dapat melihat bagaimana secara pasti modernitas itu masuk kampung dan melalui pesawat kecil itu menularkan nilai-nilai baru dan secara pasti menggantikan nilai-nilai lama yang sudah dibangun sekian lama di desa. Bahkan ungkapan guyonan desa seperti “gayane booo!” atau “komprangane kang too” berubah menjadi “kate siape?” dan sejenisnya. Demikian juga dengan pekerjaan, pada era itu mulai ditinggalkannya pekerjaan petani.

Atas informasi dan hal yang baru yang hadir di hadapan kita. kita sering terpukau, gumun dan dan tidak percaya diri. Kita menganggap diri kita tidak memiliki apa-apa, kita tertinggal jauh. Demi gengsi kita rela lapar untuk membeli TV dan kulkas. Seorang buruh tani, diceritakan dalam esai berjudul “Di desa hidup selayaknya” rela membeli TV meskipun rumahnya belum layak huni.

Mbah Nun dalam buku itu selain memperlihatkan perubahan-perubahan di desa juga menunjukkan khasanah kekayaan nilai orang desa yang tidak terduga-duga. Kekayaan nilai itu setidaknya muncul dalam sebuah esai dengan judul “Apa ada Angin di Jakarta?” dan “Kebijaksanaan Cendol”.

Apa ada angin di Jakarta, Mbah Nun membahas sebuah puisi gurunya, Umbu. Apakah Jakarta menawarkan angin (nafas hidup, harapan, keceriaan masa depan) sebagaimana desa Melati?

Demikian juga dengan “Kebijaksanaan Cendol”, menceritakan seorang Kiai yang akan mendapatkan tamu dari Thailand. Kiai itu berencana menyajikan segala hal yang berwujud desa seperti grontol termasuk cendol. Pak Kiai berangkat sendiri pagi-pagi sekali membeli Cendol. Ia hendak membeli semua cendol melik seorang pedagang. Hal yang tidak diduga-duga terjadi, tukang cendol itu menolak, alasannya karena jika cendol diborong sepagi itu maka dia akan berjualan apa? Berdagang bagi tukang Cendol tidak hanya mencari untung tetapi sebuah laku hidup, cara dia berbebrayan dengan sesama. Berjualan bagi Pak Tukang cendol adalah sejalan dengan menyatunya dia dengan Dia.

Majlis Maiyah Kalijagan Demak pada Jumat 6 April 2018 mengangkat tema “Desa Purwa”, melanjutkan perdebatan yang telah dimulai oleh Mbah Nun puluhan tahun yang lalu, tentang pasar, dagang, petani, kultur, nilai, dan lain sebagainya.

Demak baru saja menyelenggarakan pilkades, untuk memenangkan pertarungan setiap calon bisa mengeluarkan uang hingga satu milyar lebih. Demak juga baru saja menyelenggarakan pemilihan perangkat desa dan diindikasikan ada kecurangan. Para calon mengeluarkan uang agar jadi. Ruang-ruang yang seharusnya tidak menjadi dagangan sekarang menjadi dagangan. Kata kang Nadhif Alawi, salah seorang yang menemani dalam sinau bareng malam itu, bahwa kita tidak lagi memiliki kemampuan memilih, bagaimana tidak, cara memilih kita telah direcoki oleh politik uang, sudah diakumulasi dalam sistem, mandat diberikan kepada bupati, suara bupati pun tidak mempan. Kasus pemilihan perangkat desa, bupati sudah mengeluarkan surat pembatalan tetapi tetap dilantik juga. Artinya rakyat sudah sedemikian rupa ditindas. Ia tidak punya kedaulatan.

Maiyahan yang diselenggarakan di pelataran Masjid Agung Demak pada malam hari itu juga ditemani oleh mas Agus Wibowo dari Majlis Gugur Gunung, penulis buku Desa Purwa. Hadir juga pak As’ad Munir dari Suluk Surakartan, sedulur-sedulur Majlis Alternatif, Jepara, dan Sedulur Maiyah Kudus. Hadir menyusul mas Wakijo lan Sedulur, gus Aniq dan kang Nugroho dari Gambang Syafaat.

Jika mendengar penjelasan mas Agus Wibowo pada malam itu maka kita akan mengurungkan niat untuk gumun dan minder terhadap bangsa lain. Kita adalah bangsa kawi, kawi adalah kawitan – awal. Dari kata itu maka kita adalah bangsa wetan atau timur, dan ada ungkapan peradaban berasal dari timur dan Timur itu menurut mas Agus adalah kita. Bukti bahwa bangsa kita adalah pendahulu bangsa-bangsa di dunia ditunjukkan oleh bukti linguistik, arkeologis, dan kualitas manusia. Bukti lingustik misalnya kata desa, paradesa, paradise, firdaus. Masih banyak hal lain yang dipaparkan termasuk perihal pasar yang berasal dari kata masar. Tradisi kita pasar itu tidak sebagai cara mencari untung semata tetapi untuk sarana bebrayan menyambung paseduluran.

Kita pernah punya desa, tidak seperti desa sekarang yang ditinggalkan petaninya yang posisinya minor, yang mahasiswa, aparat, datang seolah-olah akan mengangkatnya dari keterpurukan, menawarkan program-program mengentaskan kemiskinan, pemberdayaan dan lain sebagainya sebangai dikeluhkan oleh seorang jamaah bernama Hanafi. Padahal kita pernah punya desa yang punya aturan tertib dan rijit. Untuk pasar saja ada pasar wage, pon, kliwon, legi, yang semuanya ada aturan dagangnya. Kita punya struktur pemerintahan desa yang rijit dan mendetail. Sistem yang demikian apik itu tidak mungkin dihasilkan oleh masyarakat berperadaban rendah. Satu lagi yang menjadi renungan kita sekarang ini yang disampaikan oleh salah seorang jamaah – desa sekarang ini menghasilkan barang yang disuplai kita atau hanya menjadi tempat sampah peradaban kota?

Kang Nugroho dari Gambang Syafaat membacakan puisi yang menyeru untuk hati-hati karena kita bisa tersingkir ketika tanah-tanah tumbuh mall, apartemen-apartemen, dan kampung menjadi hilang. Nilai, kearifan, guyupnya desa hanya akan menjadi sebuah kenangan. Dulu ada istilah ramban, dimana orang boleh dan disilakan memetik sayur yang ditanam oleh tetangganya. Kepemilikan di desa memang ada tetapi memanfaatan bisa bersama dengan syarat, izin. Kita mulai kehilangan desa. Suatu saat nanti kita akan getun, dulu kita pernah punya desa. Majlis ditutup pukul 01.30 WIB dini hari dengan kekhusukan asrokol yang diringi Rebana Tanbihin Bumo Wonosalam Demak. [Muhajir Arrosyid/Redaksi Kalijagan.com]

Majlis Masyarakat Maiyah Kalijagan Demak adalah bagian dari Majlis Masyarakat Maiyah Nusantara.