Jumat malam (20/10) di sebuah rumah di dekat kampus Unnes Gunungpati Semarang, kami mewakili janatul maiyah Kalijagan Demak menemui Prof. Dr. Adi Heru Husodo, beliau keturunan Kanjeng Sunan Kalijaga. Tidak lain pertemuan kami adalah untuk mendapatkan penjelasan yang lebih mengenai karya Kanjeng Sunan Kalijaga. Saat kami datang ternyata di tempat sudah ada mahasiswa mahasiswi yang berkonsultasi perihal rencana kuliahnya. Lalu mas Afif memperkenalkan kami, ia memberitahukan bahwa beberapa waktu lalu Maiyah Kalijagan mengangkat tema Suluk Linglung dan meminta penjelasan kepada Prof. Adi Heru mengenai suluk linglung.
Prof. Adi Heru mulai menjelaskan bahwa suluk itu dinyanyikan oleh pelaku (salik). salik itu orang yang mencari Gusti Allah, seorang salik tidak mencari kekayaan, boleh mencari kekayaan tapi ya secukupnya saja. Jadi sesungguhnya kita belajar suluk linglung itu kita belajar makrifatullah kita mempelajari ilmu-ilmu Allah tentu saja tidaklah mudah kalau tidak ada hidayah dari Allah.
Beliau melanjutkan, perihal perumpamaan “kumbang menghisap madu” yang ada di dalam suluk linglung bahwa Sunan Kalijaga waktu itu berusaha untuk menyerap makna Alquran. Karena sebelumnya Raden Syahid itu brandal, nakal, tapi dia punya jiwa kesatria dan dia senang berkumpul dengan kaum dhuafa. Orang melarat senang sekali dibantunya sehingga pada waktu berguru kepada Sunan Bonang dia menyerap segalanya, madu itulah yang ia serap. Padahal sebenarnya antara Sunan Bonang dan Raden Syahid ini pak lik dengan keponakan, tapi sama tidak tahu, tahu-tahu sesudah semua terjadi lalu sama-sama kaget.
Prof. Adi Heru menjelaskan tentang julukan Syekh Malaya, jadi Sunan Kalijaga itu dalam menyebarkan Islam tidak hanya di Demak. Beliau dakwah sampai Bangwetan Jawa Timur, bahkan sampai Kalimantan, Thailand. Dr. Adi Heru juga menceritakan pengalaman beliau ziarah di makamnya Sunan Kalijaga di Malaysia. Banyak orang Malaysia tidak puas ziarah di sana lalu ziarah ke Demak. Itulah sebabnya Kanjeng Sunan Kalijaga disebut juga Syekh Malaya.
“Kemudian ketika Sunan Kalijaga ingin merasakan iman hidayah, oleh Sunan Bonang disuruh semedi. Semedi artinya riyadhoh, berusaha mendekatkan diri kepada Allah. Ya akhirnya memang hidayah diturunkan oleh Allah yang tadinya brandal, maling, lalu melakukan dakwah. Lalu Sunan Kalijaga menjalani laku kijang, kalau kita melihat kijang itu kan hewan, artinya bahwa Sunan Kalijaga menjalani hidup peribahasa(perumpamaan)nya seperti hewan dan tidak berarti sama sekali, tidak makan nasi, makannya hanya dedaunan dia tidak seperti manusia kebanyakan. Maksudnya bukan jalannya itu kaki empat mirip kijang, itu hanya istilah saja. Jadi saat menjalani laku kijang, adiknya ikut. Ketika Raden Syahid diusir Romo nya maka Dewi Roso Wulan bertekad mengejar ingin menemani kakaknya dan akhirnya dua-duanya menjalani laku kijang. Mereka mengembara dan tidak ingin dikenal siapa-siapa.” Papar Beliau.
“Adek-adek, di situlah sesungguhnya lelaku salik itu, orang yang menjalani sesungguhnya hidup di dalam ilmu tasawuf. Tasawuf itu adalah ilmu kebatinan Islam adik-adik bukan ilmu kebatinan Jowo. Intinya kalau kita mempelajari tasawuf itu “Tawazufastari” orang Malaysia dan Sumatera menyebutnya martabat tujuh. Taubat kepada Allah. Wara’ itu kamu bisa membedakan mana baik mana buruk. Wara’ itu di hati. Zuhud itu menjauhi kekayaan dunia. Fakir itu kita harus merasa fakir karena semua yang membuat kaya ya Gusti Allah. Sabar, Tawakal karena semua yang di tangan Allah itu lebih baik daripada di tangan manusia. Kalau sudah dilakukan semua Gusti Allah bakal Ridho. Suluk dijalani salik yang mencari Allah, ya dengan caranya masing-masing.” Jelas Prof. Adi Heru.
Tiba saatnya Kang Hajir bicara, Kang Hajir menceritakan di Demak belum ada yang memulai untuk membicarakan karya-karya Kanjeng Sunan Kalijaga. Maka Maiyah Kalijagan memulai dengan obrolan setiap sebulan sekali di hari Jumat minggu pertama yang bertempat di stasiun Demak. Meskipun Kang Hajir sendiri terkadang takut karena belum ada ahli waris atau orang yang paham betul karya Kanjeng Sunan yang hadir dalam setiap obrolan untuk menemani belajar. Prof. Adi Heru menanggapi, “Tidak perlu menunggu ahli karya Kanjeng Sunan untuk belajar karya beliau. Jangan putus asa, belajarlah nggak apa-apa. Do the best you can.” Tutur Prof. Adi Heru.
Prof. Adi Heru menceritakan mengenai kidung rumekso ing wengi, ilir olir, itu menjadi lagu wajib setiap keluarga Sunan Kalijaga melakukan pertemuan. Prof Adi Heru menjelaskan kidung rumekso ing wengi adalah pengusir setan, juga bisa menolak santet. Karena sama seperti surat Al Fatihah. “Nah inilah.. bahwa sesungguhnya untuk memahami Allah, nderek Allah, pasrah kalih dumateng Allah tidaklah kita harus selalu berbahasa Arab.” Kata Prof Adi Heru. [Ajib Zakaria]