Majlis Maiyah Telatah Demak

Pembelaan Mbah Nun

Resensi buku “Gelandangan di Kampung Sendiri”

 

“Membela buruh pada hakikatnya adalah membela teman” (hal. 31)

Sastrawan adalah penyambung lidah rakyat. Pena bagi orang-orang yang terpinggirkan. Penyampai aspirasi masyarakat golongan bawah. Jembatan bagi suara rakyat untuk sampai kepada pejabat negara, anggota dewan, dan para politikus. Yang katanya mereka adalah penguasa, yang berhak membuat peraturan dan rakyat harus patuh tanpa boleh berpendapat. Sastrawan yang sebagian besar karyanya membela yang tertindas sudah pasti mendapat ruang di hati rakyat, mereka dicintai karena mereka adalah sahabat rakyat yang paling dekat dengan rakyat. Yang mengerti ketidakadilan yang selama ini terpaksa dinikmati kaum bawah. Mereka membela rakyat lewat apa saja, cerpen, novel, puisi, maupun esai.

Begitupun​ Emha Ainun Nadjib atau yang kerap disapa Cak Nun. Tetapi disini lebih pantas saya tulis Mbah Nun, sebagai bentuk rasa ta’dzim saya. Seperti yang kita tahu, Mbah Nun adalah sastrawan yang karyanya sudah mengisi media cetak mulai tahun 70-an. Kumpulan esai Mbah Nun yang menyangkut tentang orang-orang kecil yang dimuat di koran mulai rentang tahun 1991-1993 dibukukan dalam “Gelandangan Di Kampung Sendiri”. Buku yang dipersembahkan: Kepada Orang​-Orang yang Dianiaya/ Kepada Orang-Orang yang Ditindas/ Kepada Orang-Orang yang Dirampas Kemerdekaannya/ Kepada Orang-Orang yang Dimiskinkan/ Kepada Teman-Teman, Sahabat, dan Orang-Orang/ Yang Tetap Konsisten Memperjuangkan Keadilan/ Dan Hidupnya Diperuntukkan Orang Kecil./

Ada empat bagian kerangka besar. Bagian pertama: Banyak berisi tentang pengaduan orang yang dirampas haknya, buruh, orang yang​ bingung bagaimana harus bersikap. Juga ada kisah hidup Rasulullah yang dimaksudkan dijadikan cermin oleh manusia di era modern. Bagian kedua: berisi kisah-kisah​ kaum bawah yang sangat bermanfaat bagi kaum kapitalis. Ada juga kontroversi goyangan Inul yang begitu panas bagi kaum penganut dogma yang menolak nikmat duniawi. Bagian ketiga: berisi tentang ekspresi para kaum proletariat, dan anjuran Mbah Nun bagaimana harusnya para proletariat bersikap menghadapi kaum kapitalis. Dan Bagian Keempat: berisi tentang kisah yang patut dicontoh untuk melanjutkan bagaimana seharusnya kita bersikap.

Mbah Nun begitu teliti. Contohnya berita dari Probolinggo yang pernah membuat geger waktu itu, tentang seorang nenek yang memutilasi cucunya menjadi 79 bagian. Yang kaum pakar ilmu sosial hanya diam tanpa mau menjelaskan sebab masalah. Mbah Nun mengajak mencari arti dari kejadian tersebut, maksud dari perumpamaan sebuah kejadian. Beliau juga mengaitkannya​ dengan hal-hal kecil—yang kadang tidak disadari khalayak umum— kemudian timbul hasil yang kadang membuat kita berpikir, jangan-jangan memang seperti itu yang terjadi.

Mbah Nun memang kerap mengajak mencari hikmah, menebar buah pikir. Perihal tidak pahamnya Anda mungkin hanya perlu mengulang membaca. Sebab filsafat memang membingungkan, namun pada level tertentu Anda pasti sejalur dengan maksud penulis. Karena pada akhirnya memang seperti itu yang terjadi.

Redaktur Kalijagan.com. Menulis esai, reportase dan puisi. Penggiat Maiyah Kalijagan Demak. Selain itu juga jago dalam reparasi jam tangan.