Majlis Maiyah Telatah Demak

Vidak Kubro, Batu, dan Takziyah

Sewaktu melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN), kira-kira dimulai pada penghujung bulan September tahun lalu, selama satu setengah bulan, saya dan teman-teman berada di Demak. Kami ditugaskan di Desa Sukodono, Kecamatan Bonang. Beberapa hari di Desa Sukodono, kami belajar beradaptasi dengan mengikuti berbagai kegiatan keagamaan warga Desa. Hampir setiap hari ada kegiatan keagamaan, di tiap dusun-dusunnya, bergantian; yasinan, maulidan, diba’an, dan lain-lain. Desa ini tak pernah sepi dari puja-puji syukur kepada Illahi dan shalawat kepada Nabi Muhammad. Mungkin di desa-desa sebelah juga sama. Semoga berkah selalu dilimpahkan Allah kepada Kota Wali dan warganya.

Tetapi ada satu tradisi yang baru saya temui. Beberapa hari setelah penempatan KKN, kira-kira tiga rumah dari posko KKN saya, ada seseorang yang baru saja dipanggil menghadap Sang Khalik. Seperti tradisi Islam-Jawa pada umumnya, ketika ba’da isya diadakan yasinan dan tahlilan. Masyarakat satu dusun berkumpul, mendoakan kepada yang meninggal, juga masyarakat satu desa bergantian takziyah ke rumah duka. Kegiatan ini berlangsung hingga tujuh hari berturut-turut. Tradisi seperti ini yang sudah susah dicari di kota besar seperti Semarang.

Yang berbeda dari yasin dan tahlilan di sini adalah penggunaan batu sebagai media doa. Setelah yasin dan tahlil dilaksanakan, tuan rumah mengucapkan wasilah-wasilah kembali lalu batu sebanyak satu ember kecil dibagi rata ke warga yang mengikuti tahllan, dengan perhitungan satu batu sama dengan sepuluh qulhu (surah Al-Ikhlas). Karena penasaran, setelah yasin dan tahlil selesai, dilanjutkan menyeruput teh panas dan memakan kudapan yang telah disediakan, saya bertanya kepada salah satu warga, “Apa nama tradisi ini dan untuk apa batu-batu itu digunakan Pak?” Kemudian kalau tidak salah Bapak itu menjawab begini, “Ini namanya Vidak Kubro, batu ini nantinya setelah diisi dengan doa-doa akan di taruh di sekitar makam. Tetapi nanti ke makamnya ba’da subuh, di sana pemakaman juga diadakan tahlilan. Jadi ini masih serangkaian kegiatan.”

Batu dan Doa: Semua Benda Itu Hidup

Bapak tadi kemudian melanjutkan, “Sekarang tradisi ini sudah makin jarang dilakukan oleh masyarakat. Di desa ini saja, yang terdiri dari enam dusun, hanya beberapa dusun saja yang masih mempertahankan, termasuk dusun Ngasem Kulon ini.” Menurut saya, mungkin Vidak Kubro mirip dengan suwuk, tapi suwuk medianya air putih, ketika air digunakan untuk penyembuhan atau obat dengan didoakan oleh Pak Kyai. Vidak Kubro memiliki sisi filosofis tersendiri menurutku, karena dalam Islam, segala sesuatu atau benda (yang saat ini dikenal dengan benda hidup dan benda mati) itu hidup dan selalu berdzikir kepada Allah. Segala benda adalah hidup, semua bertauhid kepada-Nya.

Saya dulu juga pernah mendapat wejangan, bahwasannya tanaman yang ditanam di atas gundukan tanah kuburan seseorang akan ikut mendoakan mayat yang ada di bawahnya. Mungkin ini sama halnya dengan fungsi batu dalam Vidak Kubro yang sudah dibacakan doa, yaitu mendoakan si mayit yang terkubur di bawah tanah. Semoga tradisi ini selalu lestari, keguyuban warganya tetap kuat dan terjaga dengan kegiatan keagamaan yang beragam di Demak.

Takziyah

Kemudian yang berbeda lagi adalah adat dan tradisi takziyah-nya. Ketika seseorang meninggal, tetangganya dan warga satu Desa bertakziyah dengan membawa besek atau bungkusan makanan atau sembako yang diletakkan di atas nampan atau baskom kecil kemudian ditutup dengan kain dan diikat di bagian atasnya. Lalu kemudan diberikan kepada keluarga yang berduka. Begitupun warga yang bertakziyah ke rumah duka, akan dipersilahkan masuk dan mencicipi makanan yang dibawakan oleh tiap warganya, isinya hampir sama, yakni nasi gudangan. Ya, makanan yang terdiri dari nasi, sayurap/urap, telur rebus, tahu, tempe, dan ikan asin dihidangkan. Bersama-sama dalam satu nampan, saya, teman-teman, dan warga memakan hidangan yang sudah disediakan.

Keguyuban dan keramahan inilah yang selalu kurindukan ketika berada di Demak, yang jarang ku temui di Semarang. Lalu yang menjadi pertanyaan saya, “Bagaimana ya caranya menjaga tradisi Vidak Kubro dan tradisi takziyah-nya yang penuh filosofi tersebut agar tetap lestari?” Ya, bukan hanya tugas dan kewajiban warga Demak saja untuk mempertahankan, tetapi menjadi tugas dan kewajiban kita semua untuk melestarikannya.

Mahasiswa UIN Walisongo Semarang, santri RKSS Semarang. Penggiat Gambang Syafaat Semarang.