Majlis Maiyah Telatah Demak

Kepasrahan Orang Demak

Dari seorang teman luar Demak yang hampir setahun ini bekerja di Demak, saya mendengar simpulannya tentang orang Demak. Katanya, “Kepasrahan orang Demak terhadap Tuhannya itu total. Hal itu terlihat saat mereka menghadapi masalah. Misal saja, seorang nenek ditipu. Sertifikat tanahnya dibuat jaminan atas utang orang lain. Si pengutang itu lari. Si nenek inilah yang kemudian mendapat masalah. Ia berurusan dengan bank. Ketika si nenek ditanya maka jawabannya adalah: Ya Allah, salah kula nopo kok njenengan ganjar masalah kados ngoten?” Si nenek tidak menyalahkan orang yang menipunya. Ia mencari kesalahan dirinya sendiri kepada Tuhannya.

Kasus lain, si teman saya ini bertemu dengan saudara-saudara kita yang ada di Sayung yang beberapa hari kemarin terdampak banjir. Banjir di rumahnya semakin sering terjadi di tahun-tahun terakhir ini. Ketika si terdampak banjir ini ditanya jawabannya adalah, “Ya disyukuri saja Mas, mau bagaimana lagi?” Syukur artinya mengembalikan keadaan kepada Allah. Ini dari Allah dan yang dari Allah itu baik. Mereka tidak mencoba mencari pihak-pihak yang patut disalahkan. Misal pemerintah atau DPR yang setiap menjelang pemilu memohon dukungan. Temuan teman saya tadi bukan simpulan negatif. Itu simpulan atas alam pikir masyarakat Demak. Meskipun secara metodologis penelitian atas hal ini masih perlu dilakukan. Maka tidak heran jika pun ada riak, di sini hanyalah riak kecil yang kemudian hilang dan tidak pernah menjadi ombak.

Pertanyaannya, apakah saya juga termasuk orang yang sepasrah itu? Saya kira ‘iya’. Perjalanan saya dari Demak ke Semarang dan sebaliknya sering terganggu oleh jalan berlubang dan kemacetan. Atas hal itu sama sekali saya tidak pernah protes. Saya diam saja. Saya tidak pernah bunyi lewat demo, nulis di koran, dan media sosial yang saya miliki. Diam adalah cara paling aman sambil berharap orang lain yang melakukannya. Dan tidak pernah terjadi karena orang lain juga berpikiran sebagaimana saya.

Tadi pagi saya terperosok sebuah lubang yang dalam dan lebar. Perjalanan saya juga tersendat oleh kemacetan. Teman saya tadi bertanya, “Kamu tidak protes?” aku menjawab. “Ya cari sisi baiknya. Dengan banyak lubang di jalan justru aku bisa lebih hati-hati dan waspada,” Mendengar jawaban itu teman saya misuh.

Saya bilang kepada dia, “Nanti jika jalan tol rampung segala masalah di jalan mungkin akan teratasi. Macet akan berkurang, banjir pada sebagian penduduk pastinya juga akan berkurang. Karena kata Pak Ganjar, tol akan juga menjadi tanggul.”

“Tapi tol kan sedikit saja di area pantai Demak. Artinya hanya sedikit area Demak yang terselamatkan dari tol itu. Eh ngomong-ngomong kenapa jika jalan tol itu tidak berlubang, jalanya mulus dan tidak macet? Sedang jalan umum penuh lubang?”

“Karena tol bayar?”

“Apa mesti bayar dulu baru jalan bagus. Apa kurang pajak dan pengelolaan alam untuk membiayai fasilitas umum?”

“Maaf. Pengetahuanku tentang tata kelola pemerintahan minim. Dari pada keliru jawab nanti terjerat UU ITE malah berabe. Anakku masih kecil-kecil. Lebih baik pasrah saja kepada Tuhan. Terserah Tuhan maunya apa.”

23 Feb 2021

Dosen di Universitas PGRI Semarang. Penulis buku Soko Tatal dan kumpulan cerpen Di Atas Tumpukan Jerami. Penggiat di Simpul Gambang Syafaat Semarang dan Maiyah Kalijagan Demak.