1/
Keberadaan Kalijagan saat ini perlu kita syukuri dengan bahagia. Saya sendiri pun bahagia lantaran tanpa harus berjuang memulai, saya bisa menikmati kebersamaan Maiyah Kalijagan—barangkali hal serupa juga sedulur-sedulur rasakan.
Memulai adalah hal yang berat, sebagaimana seorang bayi yang berusaha memulai perjalanannya di dunia, membutuhkan sebuah perjuangan untuk menerobos lubang yang teramat sempit, untuk menemukan fase perjalanan yang sedikit luas ketimbang fase rahim yakni fase dunia. Begitulah yang bisa saya bayangkan bagaimana Kang Hajir bersama Kang Ipnu, Kang Haq, Mas Djoko—yang mengaku sebagai santrinya Mbah Nun, memulai Maiyahan di Kabupaten Demak.
2/
Awal-awal yang mereka lakukan hanya mengajak Sinau Bareng dengan topik Kidung Rumekso Ing Wengi, karya Sunan Kalijaga, melalui sebuah status FB Kang Hajir. Menariknya kata yang dipilih Kang Hajir waktu itu sedikit provokatif, “Kamu mau debat? Oh nonton debat?”. Bagi saya, kata ‘debat’ memiliki provokasi tersendiri bagi masyarakat umum, selain memiliki konotasi yang negatif, sebab dalam pandangan umum sering mengartikan ‘debat’ sebagai suatu kegiatan pertikaian pemikiran. Berbeda dengan kata ‘musyawarah’ yang konotasinya lebih terkesan santun. Namun jika kita lebih cermat lagi, ada tanda tanya yang dipakai Kang Hajir, yang menegaskan ‘debat’ itu sebuah pemersilahan kepada siapa saja, bahwa Maiyah tidak menolak sebuah perdebatan. Sebab debat merupakan cara seseorang untuk menyampaikan pendapatnya yang berbeda dengan pendapat orang lain, dan itu merupakan bagian dari proses Sinau Bareng.
Tercatat Maiyah Kalijagan mulai hadir—sebelum memiliki nama— pada 10 Februari 2017 di Rumah Kang Muhajir Arrosyid dengan topik Kidung Rumekso Ing Wengi. Itulah provokasi pertama yang dilakukan mereka untuk mengajak kita bersama-sama mengakhiratkan dunia kita, sebagaimana yang sering disinggung Mbah Nun saat menjelaskan ayat 77 surat Al Qashash.
3/
Pada Kalijagan—saat itu masih bernama Sinau Bareng— edisi Kedua tema Kidung Rumekso Ing Wengi masih menjadi tema Sinau Bareng sedulur Maiyah Demak. Satu tema saja ternyata tidak cukup hanya disinauni dalam satu majlis, yang tentunya membuat sedulur-sedulur menyinauninya lagi di edisi kedua.
Tercatat, Jum’at, 10 Maret 2017, masih di Rumah yang sama dan tema yang sama, edisi kedua Kalijagan berlangsung. Menurut Kang Hajir, orangnya masih sama sebagaimana edisi pertama, lima orang saja. Kang Hajir, Kang Ipnu, Kang Haq, Mas Djoko dan satu nama yang tidak ia sebutkan namanya. Yang membedakan hanya, seusai Maiyahan lahirlah WAG sebagai ruang silaturrahim online antara sedulur maiyah Kalijagan.
4/
Di edisi ketiga, Jum’at, 14 April 2017 di Rumah Mas DJoko Purnomo, persebaran informasinya hanya di grub WA dan japri-japrian antar sedulur. Tema tidak ada, hanya sinau bareng apa saja yang bisa disinauni. Meski begitu, ternyata kedatangan tamu dari luar kota, dari sedulur tua Gambang Syafaat dan sedulur muda Semak Tadabburan—waktu itu belum lahir Maiyah Kudus.
Sogatan yang diberikan seadanya tuan rumah yang ditempati sebagai majlis sinau bareng, kopi, cemilan dan sogatan sebagaimana saat kita kedatangan teman/saudara yang mertamu ke rumah. Tidak ada yang disiapkan secara lebih sebagaimana event-event besar, semua mengalir seperti sungai yang dijaga oleh Raden Syahid. Sinau pun berjalan mengalir, jika pun ada perdebatan itu cara kami bermesraan satu sama lain.
Pada edisi ketiga ini, lahirlah sebuah nama Cangkruk Kalijagan disingkat CK. Jika di Jakarta ada KC (Kenduri Cinta), di Demak ada CK (Cangkruk Kalijagan) yang berlangsung sama-sama di Jum’at Kedua tiap bulannya. Nama Cangkruk Kalijagan baru dipakai pada pamflet Kalijagan edisi ke empat.
5/
Pada edisi keempat, Jum’at, 12 Mei 2017, Cangkruk Kalijagan mengusung tema Makna Memaknai Alun-Alun. Edisi keempat, tempat kembali lagi ke rumah Kang Muhajir Arrosyid. Saya sendiri bersyukur, pada edisi keempat saya bisa mengikuti Maiyahan di Demak untuk pertama kali. Metode sinau Bareng yang dilakukan waktu itu, semua audien yang hadir diminta untuk mengemukakan pandangan, ilmu, pengetahuan serta wawasannya mengenai Alun-alun.
Satu persatu berbicara. Waktu itu ada Gus Aniq (dari Pati), Mas Wiwid (dari Semarang), Yunan (dari Jepara), juga ada rebana asal Bonang yang ikut menggembirai maiyahan edisi keempat itu. Semuanya mengalir, dari ilmu, diskusi, musik rebana, pendapat dan joke-joke yang dikeluarkan audiens yang hadir. Mengalir hingga larut malam, sekitar pukul 23.00 WIB sound system dimatikan untuk menghormati tetangga yang beristirahat malam, namun maiyahan tetap berlangsung sebagaimana suasana cangkrukan. Bahkan ada sebagian yang menginap di rumah Kang Hajir. Terhitung ada sekitar 30-an orang yang maiyahan di edisi keempat itu.
6/
Pada momentum Milad Kalijagan yang keempat, kiranya syukur yang teramat mendalam perlu kita akhiratkan bersama. Salah satu bentuk syukur itu mengingat kembali sedikit perjalanan yang ditempuh Kalijagan hingga usianya empat tahun. Memulai itu suatu hal yang berat, namun ada saudara kita yang mau memprovokasi dirinya—khususnya dan kita—pada umumnya untuk bersama-sama mengakhiratkan dunia kita. Saya sendiri berterimakasih kepada mereka yang berani memulai hadirnya Maiyahan di Kabupaten Demak.
Selamat bermilad Kalijagan yang keempat. Berkah.