Majlis Maiyah Telatah Demak

Relativitas kalimah toyibah

Sedulur Kalijagan, lama saya tidak menyapa. Pagi ini saya mau menyapa lagi. Semoga sedulur semua sehat wal afiat. Kita telah melewati bulan-bulan besar, peristiwa-peristiwa besar. Begini saya hanya mau cerita, saat saya ketemu sedulur Maiyah maka saya bertegur sapa, saya menanyakan kabar, kalau dia petani saya tanyakan kabar sawahnya, kalau dia pedagang saya tanyakan kabar dagangannya, kalau dia tukang sablon saya tanyakan rame apa tidak. Dan biasanya jawabannya “Alhamdulillah”.

Dulu saya selalu lega, ikut senang dengan jawaban itu. Saya menganggap “alhamdulillah” artinya bisnisnya lancar, banyak order, dagangannya laris, job lancar. Namun aku mulai curiga karena saat mengucapkan Alhamdulillah itu mimik mukanya datar. Tidak terbaca apakah gembira dan apakah sedih.

Kemudian pertanyaan aku lanjutkan. “Alhamdulillah kok sedih gitu?”
Kemudian dia jawab. “Alhamdulillah job sepi jadi banyak waktu beribadah.”
“Asu.”

Saya yang salah-saya yang salah. Alhamdulillah itu ungkapan syukur bukan ungkapan job rame, panen berhasil, dagangan laris. Artinya meskipun tidak laris, gagal, sepi, jika kita mampu mensyukurinya maka kita berhak berkata “Alhamdulillah”.

Setiap pribadi memilih kalimah toyibah sesuai dengan karakter dirinya. Ada tipe orang yang “mengalhamdulillahkan” segala sesuatu baik itu kegembiraan maupun kesedihan. Ada tepe orang selalu astagfiruallah. Meskipun misalnya mendapat rizki melimpah dia tetap berkata astagfirullah. Karena benda dunia yang datang pada dirinya itu bisa saja sebagai ujian dari Allah. Ada tipe orang yang selalu subkhanallah. Setiap dia melihat segala sesuatu baik yang membuatnya gumun maupun biasa saja, dia selalu mensucikan Allah. Kamu tipe yang mana?

Dosen di Universitas PGRI Semarang. Penulis buku Soko Tatal dan kumpulan cerpen Di Atas Tumpukan Jerami. Penggiat di Simpul Gambang Syafaat Semarang dan Maiyah Kalijagan Demak.