Majlis Maiyah Telatah Demak

Penjara Untuk Manusia Kartini

KITA mengenal Kartini, perempuan Jepara, sebagai perempuan yang dikungkung oleh adat Jawa yang berkembang ketat pada masa kolonial. Perempuan Priyayi yang harus dipingit pada usia tertentu dan rela menikah menjadi istri kedua atas pilihan orangtua. Kartini bertemu buku, majalah. Pemikirannya terhubung dengan peradaban baru yang sedang menggeliat di Eropa. Jiwanya berontak tetapi raganya terpenjara.

Pemberontakan Kartini atas nasib perempuan Jawa disampaikan melaui surat-surat dan artikel-artikel. Protes Kartini terhadap manusia Barat tidak hanya soal perempuan saja tetapi juga soal kesetaraan dan kemanusiaan. Mengapa manusia Jawa tidak boleh pandai? Katanya: Orang-orang Belanda itu mentertawakan dan mengejek kebodohan kami, tetapi kalau kami mencoba maju, kemudian mereka bersikap menantang kami. Disampaikan melalui surat kepada Estelle Zeehandelaar tertanggal 12 Januari 1900.

Pada perkembangannya Kartini menjadi simbol kesetaraan. Ia dikenal sebagai pejuang kaumnya yaitu kaum perempuan. Ia miskipun bukan satu-satunya yang dianggap meningkatkan pendidikan perempuan Hindia Belanda, meningkatkan keterampilan. Memperjuangkan perempuan sebenarnya memperjuangkan kemanusiaan, karena perempuan adalah manusia. Menindas perempuan sesungguhnya menindas kemanusiaan pula.

Hingga sampailah pada suatu masa, sebuah anggapan bahwa perempuan adalah Kartini dan Kartini adalah perempuan. Pada masa ini, kemanusiaan terkadang dilepaskan. Perempuan mau dikondisikan seperti apa membuat Kartini juga akan dicitrakan seperti apa. Ketika zaman menginginkan perempuan harus cantik, lembut, gemulai, maka Kartini juga digambarkan semacam itu melalui menampilkan Kartini di acara kartinian. Pada hari peringatan Kartini, diselenggarakan lomba, foto, lomba peragaan busana, lomba memasak, dan lomba-lomba yang bersifat fisik belaka.

Dan ketika perempuan ingin disyariahkan, ditutup aurotnya, dirumahkan, disantrikan, maka gejala ini juga berakibat pada Kartini. Muncul foto-foto editan yang menampakkan sebuah gambar Kartini mengenakan jilbab atau istilah hijrahnya: hijab. Kartini dikerudungi. Karena Kartini telanjur diasosiasikan sebagai perempuan Indonesia, maka jika melihat Kartini berjilbab orang-orang akan ikut berjilbab. Segitunya. Sangat menggelikan karena Kartini berkerudung dan berjilbab dengan gaya kekinian. Cara begini diyakini sebagai dakwah.

Apa yang kita lakukan saat ini dengan cara menarik Kartini sebagai tempat mengumbar kecantikan fisik, wadag, megal-megol, dan mengkrudungi Kartini dengan gaya kekinian meskipun fotonya dibuat seolah lawasan adalah kejahatan kepada Kartini. Kita tidak dengan jujur dan tanggungjawab menampilkan Kartini apa adanya. Kita menampilkannya sesuai yang kita mau saja. Persoalan kita suka apa tidak suka setelah membaca Kartini itu urusan lain.

Apa yang kita lakukan dengan menarik Kartini ke dalam keinginan kita adalah cara baru memenjarakan Kartini. Jadi dua kali Kartini di pingit, oleh budayanya dan oleh budaya kita. Sebuah tindakan yang tidak sadar membodohi diri kita sendiri. Karena sebenarnya banyak hal yang bisa kita gali dari manusia Kartini.

Dosen di Universitas PGRI Semarang. Penulis buku Soko Tatal dan kumpulan cerpen Di Atas Tumpukan Jerami. Penggiat di Simpul Gambang Syafaat Semarang dan Maiyah Kalijagan Demak.