Majlis Maiyah Telatah Demak

Apakah Tuhan pernah bercanda?

“Mbah, kira-kira panennya berhasil gak ya?” tanya seorang cucu.
“Ya bergantung sama yang ngecat lombok, Le” Jawab Kakek. Begitulah jawaban orangtua-orangtua kita saat menyebut Tuhan. Yang mengecat lombok, tentu saja Gusti Allah. Tidak ada yang mampu mengecat lombok sesempurna Gusti Allah. Kisah yang akan aku sampaikan di bawah inilah kira-kira yang menjadi asal-muasal penyebutan itu.

***

Ini kisah seorang pemuda, sebut saja namanya Kumbang, bukan nama sebenarnya. Ya, si Kumbang adalah anak kos. Ia bekerja di sebuah perusahaan di Kota provinsi. Ia berangkat pagi pukul 07.30 dan pulang sore Pukul 16.00. Si Kumbang ini doyan sekali dengan sambal. Ia tidak doyan makan kalau tidak ada pedasnya. Membuat mi instan, ia kasih lima butir kabe. Untuk menutupi kebutuan lombok itu ia berinisiatif memanfaatkan lahan kosong di bagian belakang, cukup untuk menanam 30 pot lombok. Kumbang pergi ke pasar membeli benih lombok. Ia beli tanah satu karung, kompos dua bungkus, dan kaleng bekas sebagai pot. Kumbang merawat lombok itu dengan sepenuh cinta. Setiap saat ia saksikan perkembangannya. Sehabis tidur sebelum mandi yang ia saksikan terlebih dahulu adalah lomboknya. Sepulang kerja yang ia tengok pertama kali juga lombok.

Ia ingat, ia pernah dinasihati oleh temannya. “Jika mau memulai bisnis, bertanilah atau beternaklah. Kedua hal ini bisa disebut dengan uang murni. Uang yang selalu tumbuh tanpa dapat dicegah. Kita tidak bisa menghentikan pertumbuhan ikan, kerbau, jagung, terong. Dan dua hal itu tidak membutuhkan skill, yang dilakukan hanya mengondisikan tanaman atau ternak dan mengantarkannya hingga fase panen.” Kumbang telah melaksanakan saran temannya itu. Kelebihan beternak dan bertani itu tidak harus ditunggu terus, kata temannya. Ia saksikan lombok yang ia tanam mulai tumbuh. Daun-daunnya mulai crubus. Tidak lama lagi pasti akan panen. Kumbang senyum-senyum sendiri. Ia bisa bertani di kos, di lahan yang sempit. Hasil panen lombok itu tidak akan habis dia nikmati sendiri. Ia akan bagikan ke teman-teman kantornya.

Namun, saat lombok itu mulai berbunga ada penyakit menyerang. Semut-semut mulai menyerbu. Hama putih-putih menyerang daun. Mimpi Kumbang untuk panen tertunda. Ia tanyakan itu ke ahli tanaman. Ia juga cari solusi di internet. Ia mendapatkan resep ampuh mengusir hama. Lombok-lombok mulai tumbuh dan berbunga. Lagi-lagi ketika mau panen, hama yang lain menyerang. Duh akhirnya Kumbang menyerah. Ia telah menghabiskan banyak biaya dan waktu untuk mengurusi lombok-lomboknya itu. Ia pikir ini tidak sebanding, mending pergi ke pasar, beli lombok sudah dapat banyak daripada beli pupuk, obat, tanah, kompos, pot, dan menyiram setiap hari. Sungguh tidak sebanding. Akhirnya Kumbang berhenti mengurusi lombok-lomboknya.

Ia meninggalkan lombok-lombok itu terbengkalai. Ia mendapat tugas dari kantornya selama satu bulan. Ia harus meninggalkan kos untuk sementara waktu. Setelah tugas selesai, ia kembali lagi ke kos. Ia buka pintu kamar, meletakkan tas, dan pergi ke kamar mandi. Menuju kamar mandi ia saksikan lombok-lomboknya. Ia takjub karena lombok-lombok itu tumbuh segar dan sehat. Dari ranting-rantingnya menjuntai lombok-lombok yang gemuk dan berisi. Menyaksikan itu Kumbang bersimpuh lemas. Ia belai-belai lombok itu sambil menangis. “Duh ternyata Tuhan mengajak bercanda. Sementara aku merawatnya dengan sungguh-sungguh, penuh perhatian, malah tidak berhasil. Saat aku tinggalkan, tidak aku urus, malah tumbuh baik. Sepertinya Tuhan mengurusnya dan tidak ingin aku ketahui. Atau mungkin ini cara Tuhan bercanda denganku?” sloroh Kumbang.

Pada saat itu juga Kumbang memanen lomboknya. Esuk harinya ia bagi-bagikan kepada teman-temannya. Ia bilang, “Eh ada titipan lombok dari Tuhan.” Kumbang malu untuk mengakui panen itu darinya. Mungkin, begitulah cara Tuhan bercanda.

Dosen di Universitas PGRI Semarang. Penulis buku Soko Tatal dan kumpulan cerpen Di Atas Tumpukan Jerami. Penggiat di Simpul Gambang Syafaat Semarang dan Maiyah Kalijagan Demak.