Majlis Maiyah Telatah Demak

Raden Fatah dan Wanasalam

Siu Ban Ci, perempuan dengan rambut panjang diterpa angin duduk di pojok kapal. Parasnya yang cantik siang itu sendu. Ia pegangi perutnya. Seorang anak dengan sejarah besar akan lahir dari rahimnya. “Aku serahkan dia kepadamu. Tapi jangan gauli dia sebelum jabang bayi itu lahir. Jaga dan rawat dia.” Begitu titah sang Prabu kepada anak sulungnya, Harya Damar. Anak dan Bapak itu berpelukan, para awak kapal membentangkan layar. Pelan-pelan kapal bergerak menuju Palembang.

***

Setelah sebelumnya kita membicarakan tentang Pati Unus, hari ini kita mundur ke belakang, kita akan membincang tentang Jimbun atau Raden Fatah. Sesuai informasi yang telah beredar, beliau adalah putra dari Raja Majapahit, Prabu Brawijaya dari istri selir asal Cina keturunan bernama Siu Ban CI. Siu Ban Ci adalah anak dari seorang Cina muslim asal Gresik yang bernama Tan Go Hwat dan Siu Te Yo. Tan Go Hwat adalah seorang saudagar sekaligus ulama yang terkenal dengan sebutan Syaikh Bantong.

Sang putri Cina yang sedang hamil tujuh bulan itu diserahkan kepada Harya Damar, Adipati Palembang, putra sulung Prabu Brawijaya. Tentang alasan diserahkannya ini ada beberapa pendapat. Ada yang mengatakan bahwa Permaisuri yaitu putri Cempa bernama Darawati cemburu atas kecantikan putri Cina tersebut, namun juga ada sumber lain yang mengatakan diserahkannya istri yang sudah mengandung tujuh bulan kepada Harya Damar itu karena Sang Prabu kerap bermimpi sang istri ini memangku bulan yang besar. Ia khawatir bahwa sang anak kelak akan menjadi raja dan berebut kekuasaan dengan putra mahkota.

Dibawalah sang putri yang sedang hamil tujuh bulan itu ke Palembang itu dengan syarat, tidak boleh digauli sebelum melahirkan. Setelah melahirkan, sang putri itu diperistri oleh Harya Damar dan memiliki anak yang diberi nama Raden Timbal, sumber lain mengatakan Raden Kusen. Mereka berdua kemudian secara bersama-sama menyebrang ke Jawa dan belajar ilmu agama terlebih dahulu di Ampel sebelum bertemu dengan Sang Ayah. Keputusan itu setalah Raden Patah tahu jika dirinya sebenarnya adalah putra Prabu Brawijaya setelah diberitahu oleh Harya Damar. Dengan Kapal dan diiringi oleh empat emban dan 20 pasukan, serta harta benda berupa emas dan dirham, kapal itu menuju Jawa. Kapal dari Palembang mendarat di pelabuhan Cirebon. Dari Cirebon menuju Ampel dilakukan melalui jalur darat. Di pelabuhan Cirebon mereka bertemu dengan pangeran Modang. Pangeran Modang memberi arahan untuk terlebih dahulu belajar di Ampel sebelum ke Majapahit.

Wonosalam

Pertemuan antara rombongan Raden Fatah dengan seorang pemuda rampok bernama Wana dari desa Salam ini terjadi di desa Roban yang terkenal angker. Wana dan rombongannya adalah sekelompok rampok yang hasil rampokannya bukan untuk dirinya sendiri tapi dibagikan kepada rakyat miskin. Hal ini sebagaimana Raden Said sebelum ketemu dengan Sunan Bonang.

Pemuda bernama Wana ini merampok rombongan Raden Fatah. Raden Fatah bertanya, “Apa yang kamu kehendaki dariku?”

“Aku menghendaki bekalmu.” Kata Wana. Dan akhirnya Raden Fatah memberi Wana harta yang sangat banyak berupa emas dan dirham. Wana gemetar diberi harta sebanyak itu. Akhirnya Wana menyusul Raden Fatah dan menyatakan diri sebagai pengikutnya. Wana mengikuti Raden Fatah saat belajar di Ampel, hingga saat Raden Fatah menjadi raja. Wana dikemudian hari disebut Wanasalam, ia adalah pejabat tinggi kerajaan Demak. Ada yang mengatakan dia adalah Patih kasultanan Demak. Sekarang ini Wanasalam dikenal sebagai daerah, nama salahsatu kecamatan di kabupaten Demak. Tentang makamnya, masih simpang siur, ada pendapat yang mengatakan bahwa makamnya di komplek pemakaman para raja di belakang Masjid Agung Demak, ada yang berkeyakinan di Makam Wonosalam.

Kita tidak ingin membahas itu. Kita bisa mempelajari tentang, mengapa Wanasalam atau Wonosalam itu kemudian menyerahkan diri dan menyatakan menjadi pengikut Raden Fatah justru setelah dia diberi uang begitu banyak oleh Raden Fatah?

Dari kasus itu kita bisa belajar bahwa manusia bukanlah makhluk tetap, manusia adalah mahkluk bergerak. Jadi jangan memvonis orang apalagi berbuat sebagai pengganti Tuhan, yaitu mengadili mereka yang berbeda. Karena orang sangat mungkin berubah. Pada akhirnya bisa saja orang lain meninggal lebih baik dari pada kita yang merasa lebih baik. Wana adalah perampok, Allah hadir dan mengubah dirinya dengan jalan yang tidak diduga-duga.

Wana dibuat tersentak terhadap apa yang dilakukan oleh Raden Fatah. “Kok orang ini tidak melawan, kok orang ini enteng saja menyerahkan hartanya yang begitu melimpah. Kok orang ini seperti tidak butuh harta benda. Pasti ini orang bukan orang sembarangan.” Pikir Wana. Biasanya dalam pengalaman Wana merampok, orang-orang mempertahankan harta bendanya sekuat tenaga. Seringkali nyawa menjadi taruhan, kok orang ini santai saja. Orang yang sudah mampu meletakkan harta benda bukan sebagai tujuan utama pasti orang yang linuwih atau orang itu sangat kaya raya. Itulah yang menggerakkan hati Si Wana untuk takhluk dan menjadi penderek Raden Fatah.

Dosen di Universitas PGRI Semarang. Penulis buku Soko Tatal dan kumpulan cerpen Di Atas Tumpukan Jerami. Penggiat di Simpul Gambang Syafaat Semarang dan Maiyah Kalijagan Demak.