Majlis Maiyah Telatah Demak

Kekhalifahan Demak

“Saya lebih sepakat jika Pati Unus itu putra menantu Raden Patah.” Begitu kata Kang Nadhif Alawi setelah saya duduk di kursi teras rumahnya. Kang Nadhif adalah teman diskusi kami terutama tentang sejarah Demak. Beliau membantah pendapatku pada rubrik Sapa di kalijagan.com dengan berjudul “Pangeran Sabrang lor” yang muncul Selasa lalu.

Disana aku meragukan jika Pati Unus adalah anak mantu, karena putra mahkota biasanya anak lelaki tertua. Sekarang ini raja Yogya saja masih mempertimbkan mencari penganti karena seluruh anaknya perempuan, bukan lantas jatuh pada anak menantu.

“Demak berbeda dengan Jawa sebelum Demak dan setelah Demak yang monarki, dimana sistem pemerintahan berdasarkan keturunan atau perpindahan kekuasaan berdasarkan perang. Jika melihat Demak maka kita bisa merujuk dengan kehalifahan di zaman Rosulullah. Pengganti Rosulullah bukanlah keturunan beliau, begitu juga pengganti Abu Bakar, Umar, dan Ali. Mereka dipilih berdasarkan musyawarah, bukan berdasarkan keturunan.” Begitu kata Kang Nadhif.

“Begitu pula dengan Demak, Demak merujuk sistem pada zaman Nabi itu maka wajar jika raja-raja Demak tidak berdasarkan keturunan tetapi hasil musyawarah dewan wali. Raden Fatah bukanlah pendiri kerajaan Demak, ia adalah orang yang dipilih oleh dewan wali untuk menempati posisi Sultan. Setelah Majapahit kosong maka kekuasaan sementara dibawa oleh Sunan Giri, baru setelah Demak siap menjadi kasultanan baru kepemimpinan diserahkan kepada Raden Fatah.” Begitu terang Kang Nadhif.

Dengan logika seperti itulah maka pengganti Raden Fatah bukanlah anaknya tetapi Adipati Unus, seorang Adipati yang cerdas cendekia yang membawahi Kadipaten Jepara. Ia adalah Adipati paling unggul pada masanya. Pemilihan Pati Unus juga bukan hanya kehendak Raden Fatah tetapi ditentukan oleh keputusan dewan wali.

Kemudian Pati Unus kalah dalam perlawanannya terhadap Portugis, sebagai pengganti bukanlah langsung Trenggono, tetapi ada raja Transisi yaitu Sultan Prawoto. Tentang ini juga terjadi banyak perdebatan, karena banyak sumber yang menyebutkan bahwa Raden Prawoto ini adalah raja keempat menggantikan Sultan Trenggono.

Di banyak informasi di internet diceritakan bahwa pergantian kekuasaan di Demak penuh dengan tragedi dan pertumpahan darah. Tentang hal ini kita perlu curiga, apakah benar demikian?

Kang Nadhif menambahkan sebelum aku pamit. “Sebenarnya tidak sengeri  seperti yang diceritakan dimana-mana. Sistem pemerintahan Demak cukup ideal dan layak dikembangkan. Ada Dewan Wali yang dipegang oleh orang-orang yang mumpuni, masyarakat takdim padamya, kemudian Sultan dipilih oleh Dewan Wali itu. Memang kemudian ada yang berupaya menarik-narik ke sistem yang lama, ke sistem monarki lagi. “

“Untuk apa kau membicarakan kebesaran masa lalu? Membicarakan kebesaran nenek moyangmu? Sementara sebenarnya sekarang kau emprit, kau sampah, kau hanya pengikut, kau tidak mampu bergaung di dunia luar. Kau hanya jago kandang. Pesisir saat ini hanya menjadi penonton.”

Suara-suara comberan, cempreng, dan gaduh meminta didengar, tapi aku katakan kepadanya, belajarlah berkata-kata terlebih dahulu.

Aku teriak di daun telinga dengan suara keras! Persetan. Aku tidak peduli dengan penilaianmu? Aku katakan padamu, jangan menilai sesuatu hanya dengan ukuran-ukuranmu. Kemudian aku mengendalijan diri sendiri, bersholawat mengingat sang tauladan. Ia menyuruhku sabar, tidak berkata-kata kotor.

Masa lalu digali dan dipelajari untuk pijakan melangkah ke masa depan, dari masa lalu kita bisa juga mencari penyebab kegagalan biar tidak terulang lagi. Sejarah besar akan membuat kita percaya diri, kita mengetahui visi.

 

Dosen di Universitas PGRI Semarang. Penulis buku Soko Tatal dan kumpulan cerpen Di Atas Tumpukan Jerami. Penggiat di Simpul Gambang Syafaat Semarang dan Maiyah Kalijagan Demak.