Majlis Maiyah Telatah Demak

Sareh Zaman Now

Reportase Majlis Maiyah Kalijagan edisi Jum’at Legi, 2 November 2018/ 24 Shaffar 1440 | Sing Sareh, Saleh! | bagian ketujuh

 

Di Maiyah Kalijagan, ada tiga cermin yang selalu dinantikan jamaah, sebagai pemantul pendaran cahaya ilmu Allah. Agar JM Kalijagan selalu berjalan dalam sinaran cahaya ilmunya Allah. Tiga cermin itu ialah Mas Nadhif, Gus Haikal dan Kang War, semoga beliau-beliau selalu diberi ketabahan dan keistiqomahan menemani Kalijagan, tiap kali melingkar. Dari ketiganya, Kang War tampaknya teramat sangat rindu dengan Kalijagan. Setelah beberapa bulan absen — sebab menemani istrinya yang baru saja melahirkan anak pertama — malam itu durasi mengurai, memaparkan dan sinau bareng dengan jamaah cukuplah panjang. Tampaknya pula, jamaah juga merindu dengan beliau.

Kali ini, Kang War melanjutkan pembicaraan mengenai agama tanpa budaya tidak bisa jalan. Beliau mengibaratkan kalau Tuhan menciptakan agama tanpa budaya, mengapa menciptakan manusia? “Manusia berbudaya itu adalah jalan untuk Innalilahi Wa Inna Ilaihi Raji’un.” terang beliau. Sementara persoalan manusia hari ini sebenarnya dengan budaya internet. Lalu beliau memaparkan plus minusnya adanya budaya teknologi 4.0. Jika dahulu zaman dahulu, semisal zaman Walisongo sudah ada budaya whats’app, mungkin para wali tak akan mengadakan pertemuan di Masjid Agung Demak, cukup diskusi di GWA (Grub WA). Begitu pun mungkin para wali tak sanggup untuk ngrogoh sukmo, matek aji, dan teknologi diri lainnya yang memungkinkan wali sanggup berpindah tempat dengan waktu yang singkat dan berkomunikasi antara satu wali dengan wali lainnya berkomunikasi tanpa alat bantu.

“Keuntungan tidak adanya teknologi membuat orang terdahulu kepekaan batin dan kepekaan rasa makin terasa” papar Kang War. Teknologi terkadang membuat sesuatu yang harusnya mudah malah sulit, yang harusnya dekat malah jauh. Minusnya budaya teknologi adalah persoalan netizen (yang konon maha benar) yang tanpa konfirmasi, yang tanpa kita ketahui latar belakangnya seperti apa, dengan mudah memberikan komentar-komentar yang sebetulnya tidak perlu dilontarkan. Tantangan millenial zaman now, khususnya Jamaah Maiyah yang mayoritasnya anak muda adalah tidak gampang dan asal komentar serta share sesuatu di internet. Hal Ini merupakan laku sareh zaman now, yang esensinya sama tapi bentuknya berbeda. Sebab sering persoalan kecil (maupun besar) menjadi suatu perdebatan sengit yang kerap terjadi di internet. Imbasnya, orang tidak bisa menahan diri.

“Konsep sareh adalah konsep manajemen ketahanan diri. Melalui cara bertahan” melanjutkan paparnya. Karena ketahanan dan pertahanan itu beda. Ketahanan itu skalanya makro, menyangkut dinamika keluwesan, keuletan dan lain sebagainya. Dengan cara bertahan maupun menyerang. Selama ini ada benturan dan gesekan dipandang sebagai suatu yang negatif. Kadang benturan dan gesekan juga perlu, untuk membentuk ketahanan itu sendiri.

Kang War menanggapi tentang batasan sareh. Manusia sabar ada batasnya. Kita tidak bisa menghindari itu. Karena selain Tuhan yang Maha Tak Terbatas, semua ada batasannya. Manusia dengan segala dimensinya ada batasannya. Beliau mengumpamakan sareh seperti mengendarai sepeda motor. Meski ada kecepatan maksimum, kita tidak akan bisa memacu kecepatan maksimum selamanya. Sebagaimana salah satu judul buku Mbah Nun, hidup itu harus pintar ngegas dan ngerem. [Ajib/ Redaksi Kalijagan.com]

Majlis Masyarakat Maiyah Kalijagan Demak adalah bagian dari Majlis Masyarakat Maiyah Nusantara.