Majlis Maiyah Telatah Demak

Tandhur Nafsun Ma Qoddamat Lighod

Reportase Majlis Maiyah Kalijagan edisi Jum’at Kliwon, 7 September 2018/ 27 Dzulhijjah 1439 | Generasi Tandur | bagian ketiga (terakhir)

 

“Ya ayyuhal ladzina amanut taquLlaha wal tandhur nafsun ma qaddamat lighod, wattaquLlah innAllaha khobirun bima ta’malun” begitu bunyi Surat Al Hasyr ayat 18 yang disitir Mas Arafat ketika sesi tanya jawab dan sharing digelar. Dari ayat itu, Allah menyapa orang-orang yang beriman, bertaqwa agar ‘tandhur nafsun’ mengaca diri dari suatu hal yang telah dilakukan dengan ‘ma qaddamat lighod’, apa yang terjadi esok nanti. Lalu perintah Allah untuk bertaqwa dan Diapertegas sifatnya sebagai Yang Maha Mengetahui apa yang dilakukan hambaNya.

Begitu sekiranya yang disinggung Mas Arafat mengenai ayat tersebut. Kemudian ia mempertanyakan kepada jamaah yang hadir, jangan-jangan tandur adalah kata yang merujuk dari ayat tersebut. Karena padanya kenyataannya orang tandur itu menciptakan harapan untuk masa depannya dengan berjalan ke belakang.

Dari percikan itu, Mas Nadhif meresponnya dengan mengatakan Ilmu hewan undur-undur. Jangan-jangan kita seperti maju tetapi sebenarnya mundur. Jangan-jangan kita ingin membangun malah sebenarnya membuat lubang.

Sementara itu Mas Sidiq mengingatkan pada jamaah bahwa leluhur kita punya khasanah pengetahuan yang unik tentang bertani. Misal, jangan menanam saat purnama. Mereka tidak tahu alasannya mengapa demikian. Namun setelah diteliti, ternyata ada kebenaran dari laku tersebut bahwa padi yang sedang merapu akan gagal dan gapuk ketika purnama.

Kalau kita mau merujuk pada Al Hasyr 18, kita juga diingatkan Mas Nadif sebelumnya, bahwa generasi sekarang kebanyakan mencari keuntungan dan menghindari kerugian. Namun tidak menghayati ilmu menanam. Kedua, fenomena tidak memikirkan untung rugi, saat ini itu langka dan jika ada akan dianggap nyeleneh. Ketiga, saat ini banyak contoh (orang) nandur elek dan hasilnya pun merugikan bagi mereka.

Peristiwa persebaran-persebaran ilmu tersebut terjadi seusai listrik menyala dan terasa semakingayeng dan khidmat saja. Padahal genset sudah dalam perjalanan menuju Unisfat. Tapi jika kita meresapi ayat itu, sesuatu dari ‘tandhur nafsun’ itu Jamaah Kalijagan mendapatkan ‘qoddamat lighod’, ruang yang lebih nyaman daripada halaman, yang kemungkinan akan dipergunakan di bulan-bulan berikutnya. Kedua, untuk benar-benar kita menemui ‘qoddamat lighod’, kita diingatkan pada ‘tandhur nafsun’nya peradaban manusia sebelum adanya listrik.

Setelah listrik menyala, sound cek dilakukan. Sholawatan menggema, syukur atas segala nikmat yang dikaruniakan pada Kalijagan malam itu. Meski rebana Tanbihun absen, karena ada jadwal lain, tapi asalkan ada alat rebana, pasti para jamaah bisa menabuhnya. Begitu yang diyakini Kang Muhajir sebelum menggelar Kalijagan September. Dan ternyata benar adanya, beberapa jamaah sanggup menguasai alat rebana. Secara improv, tanpa latihan antara para penerbang, notasi musiknya terbangun tanpa ada sedikit missed satu sama lain. Sholawatan menggema memulai maiyahan bareng listrik yang menyala.

Kang Ahyar, moderator malam itu, memantik dengan pendapat bahwa bertani itu hobi yang mahal. Selaras dengan itu, Kang Muhajir Arrosyid sedikit menyinggung skema mengapa kita harus menanam. Menanam dekat sekali dengan urusan pangan. Negara yang kuat adalah negara yang berdaulat pangan. Nabi mengembangkan Madinah dengan menguatkan pangan, selain infrastrukturnya.

Tak hanya itu saja, bagaimana mahalnya bertani. “Ada juga khasanah tentang wayah tandur godongan, oyotan dan wijian. Godongan maksudnya yang diambil godongnya seperti kangkung, bayam, glandir. Ada yang oyotan seperti ketela, wi, gembili. Sementara wijian seperti padi, jagung dan lain-lain. Jangan sampai terbalik-balik. Jika menanam padi, yang paling penting bijinya. Jadi daunnya tidah harus sehijau daun kangkung.” Tutur Mas Sidiq, yang selanjutnya dilanjutkan sesi tanya jawab dan sharing sebagaimana tertulis di atas.

Setelah sesi tanya jawab dan sharing selesai, sebab waktu yang terus bergerak. Kang Nasir, penggiat Gambang Syafaat, dipersilahkan menyapa sedulur JM Kalijagan sesaat. Lalu Sak Dermo Musik menyajikan dua nomor puisi dan lagu. Dilanjut performance puisi dari Mas Yanto Saja serta Cak Nug (penggiat Gambang Syafaat) yang sekaligus menyanyikan satu lagu.

“Jarak tidak memisahkan, jarak saling menghubungkan. Yang memisahkan adalah dusta.” Sapa Cak Nug sebelum menyanyi. Jarak antara pendahulu dan kita tidak akan terpisah. Jarak antara suatu yang kita lakukan saat ini dengan yang terjadi di masa depan juga tak terpisah. Apalagi peristiwa sebelum listrik padam dan sesaat listrik sudah menyala juga tidak terpisah. Jika terpisah, artinya ada dusta di antara kita. Begitulah jika kita tafsirkan lebih rinci dan detail.

Seusainya menyanyi dan berpuisi, Cak Nug memberi sedikit pesan pada kita semua, generasi tandur. Pertama, petani berprinsip hanya menanam. Jika memikirkan hasil, maka akan hancur. Kedua, ketika panen tiba, rindu lah untuk menanam.

Malam itu, semua JM Kalijagan menikmati gelaran Kalijagan September sampai tak dirasa waktu sudah menunjukkan 01.00 WIB di hari Sabtu Legi. Gelaran yang sangat out of the box memang akan selalu mengawetkan jamaah untuk tidak beranjak dari tempat duduknya dan menyatukan tali silaturrahim sesamanya. Juga menautkan menjadi kesatuan untuk mencipta segitiga cinta, hamba-Muhammad-Allah. Sebelum indal qiyam, Kang Ahyar memberi kejutan pada seluruh JM dengan menyanyikan satu lagu dari Dewa 19. Ternyata vokalitas suaranya sama bagusnya dalam memandu Kalijagan tiap bulannya. Ternyata pula, kita mesti ‘tandhur nafshun’ atas segala peristiwa yang tidak direncanakan dan yang terencana dari apa yang terjadi malam itu. Kalijagan selalu nata mundur, nandur harapan untuk bersua kembali di ‘qoddamat lighod’ Kalijagan Oktober. [Redaksi Kalijagan.com]

Majlis Masyarakat Maiyah Kalijagan Demak adalah bagian dari Majlis Masyarakat Maiyah Nusantara.