Reportase Majlis Maiyah Kalijagan edisi Jum’at Kliwon, 7 September 2018/ 27 Dzulhijjah 1439 | Generasi Tandur | bagian pertama
أَفَرَءَيْتُمْ مَّا تَحْرُثُون
“Pernahkah kamu perhatikan benih yang kamu tanam?”
(QS. Al-Waqi’ah: 63)
Kalijagan bulan ini mengusung tema “Generasi Tandur” yang mana kami sinaui tentang apa itu menanam. Bukan hanya bercocok tanam, tapi juga menyemai kebajikan. Tidak hanya tentang tanaman, juga mencakup manfaat yang harus kita tanam. Lalu timbul anjuran untuk merawat yang sudah ditanam.
Bercocok tanam adalah amanah, bagaimana dulu Nabi Adam diperintah untuk menanam padi setelah turun ke bumi. Itu adalah amanah Allah kepada manusia untuk menanam, bukan hanya menikmati. Mas Muhammad Siddiq juga mengingatkan ini. “Bapak pertanian dunia ya Nabi Adam, Nabi Musa pembangunan, Nabi Nuh kemaritiman.” Begitu papar mas Siddiq. Ia juga mengatakan bahwa orang yang paling mulia adalah petani, karena selalu menanam.
Lalu pembahasan bergeser pada budaya petani yang instan, petani maunya padi tumbuh subur, panennya melimpah, dan dalam waktu yang cepat. Padahal semua butuh proses. “Budaya instan tidak hanya terjadi pada pemuda, tapi sekarang pada petani juga.”, lanjut mas Siddiq. Memang sekarang para petani ingin panen cepat, dan melimpah. Maka dipakailah pupuk kimia. Kemudian ia menjelaskan bagaimana efek buruk dalam jangka panjang penggunaan pupuk kimia. “Sistem pertanian organik adalah amanah” imbuhnya.
Ia juga memberikan opini, perihal pekerja kota Demak untuk tak terlalu memusingkan harus membangun banyak bangunan dan proyek. Cukup mengelola dengan baik pertanian di kabupaten Demak, mungkin sudah cukup mendongkrak ekonominya. Karena wilayahnya yang sebagian besar adalah sawah.
Kemudian moderator memberikan ruang kepada Mas Nadhif untuk menanggapi tadi. Menurut Mas Nadhif kalau hanya mengurus pertanian tidak bisa, karena yang menentukan harga beras itu mereka, yang di luar. Bukan kita. Kemudian beliau mencairkan suasana dengan membahas soal menanam kebaikan. “Ilmu tandur tidak hanya untuk tanaman. Menanam kebajikan juga perlu ilmu tandur”, tutur Mas Nadhif. Beliau juga mengingatkan sekarang banyak contoh orang yang menanam keburukan, dan hasilnya pun merugikan bagi mereka. “Yang paling susah adalah menanam sesuatu yang kita tidak perlu ribut mengenai yang ditanam. Tak usah pikirkan untung rugi, yang penting kita menanam.” Mas Nadhif melanjutkan uraiannya tentang pentingnya menanam.
Setelah itu, Kang Nasir dan Cak Nug juga memberikan kontribusi berbagi pendapat, juga memecahkan nuansa yang serius dalam sinau bareng. Kang Nasir yang mengetuk pinggiran rebana dengan suara khas seperti dalang, saat mengiringi cerita kang Yanto. Cak Nug yang menyanyikan lagu “Seperti Mata Air Kehilangan Sungai” dari Franky Sahilatua. Juga membaca puisinya yang kebetulan dibuat untuk tema ini.
SakDermo Musik hasil bentukan dari Arafat, Aflah dan Amiq juga menanam kebahagiaan pada malam itu. Aflah sebagai vokal, Amiq yang memetik gitar, membawakan cover lagu “Risalah Hati” dari Dewa 19. Dalam lagu tersebut disisipkam puisi “Menanam Ketiadaan” yang diciptakan dan dibaca Arafat, manusia paling puitis di Kalijagan.
Sebelumnya, sebelum memulai Kalijagan September, listrik padam. Beberapa penggiat berusaha mencari genset untuk membantu kelancaran maiyahan. Meski listrik padam, maiyahan tetap berlangsung. Munajat Maiyah serta sinau tanpa pengeras suara tetap dinikmati dengan kelapangan jiwa. Di tengah sinau bareng, hujan turun. Memaksa tanpa paksaan jamaah Kalijagan, bergeser ke area parkir. Setelah bergeser tempat, listrik nyala dan hujan berhenti.
Berlanjutlah tandurnya JM Kalijagan dalam nuansa kegembiraan ditengah sapaan listrik padam maupun nyala, sapaan gerimis maupun tidak. Gotong royong tanpa paksaan, menanam keikhlasan datang karena benar-benar ingin belajar. Terima kasih untuk semua yang sudah datang, yang berkontribusi, yang rela pulang dini hari. Sampai jumpa bulan depan. [Ajib/ Redaksi Kalijagan.com]