Majlis Maiyah Telatah Demak

Bayi, Bahasa dan Kejujuran

Mendengar tangisan bayi, berasa ada irama musik yang diciptakannya. Deru tangis menerus tak henti, jika kita mau memahami lebih, disana akan ada irama serta bahasa yang memang perlu untuk dipahami.

Sebab ketidakmampuan kita menemukan apa yang kita cari. Mengapa kita seringkali tak pernah paham—minimal mengerti— kesejatian yang dituju. Seringnya kita terperangkap dengan jalan-jalan yang sudah teranggap menjadi sebuah tempat tujuan, sementara tujuan tak pernah benar-benar ketemu. Melainkan bayangan yang serupa dengan tujuan, atau menganggap jalan adalah tujuan itu sendiri. Kemungkinannya semacam itu. Tetapi, apa yang menjadi tujuan dan yang menjadi jalan, dewasa ini amat kabur dipandang. Amat samar untuk dirasa.

Tadi, ketika bersilaturrahim ke rumah saudara, tiba-tiba ada suara bayi yang mengalun, kemudian gelombang suaranya masuk ke gendang telinga. Seketika, ada kejujuran yang menggerayangiku ditengah ketidakjujuran yang telanjang di mataku.

Benar, ia sekadar bayi. Tak punya daya—jika orang tuanya mengambil  kuasa padanya— melawan kuasa yang dihadapinya. Tetapi kejujuran tetap utuh padanya—bisa memungkinkan juga, jika orang tua tak mampu melestarikan kejujuran yang sudah tumbuh pada anaknya— kecuali ketidakjujuran mulai ditanam pada anaknya.

Pada bahasa yang dilagukan dalam tangisnya, ternyata ada irama yang indah, yakni kejujuran. Sebab hatinya masih putih, sehingga orang tua dulu bercerita tatkala bayinya menangis begitu keras dan rancu, makhluk gaib lah yang menjadi tersangka tuduhan subyek yang menangiskannya—mata bathin bayi masih mampu menangkap yang tidak tertangkap mata fisik. Olehnya, dukun pasti diundang, tak lupa kiai desa kadang diundang untuk mengusir roh jahat (makhluk ghaib) tersebut. Agar tak mengganggu bayinya lagi.

Tetapi masalahnya bukan pada makhluk gaib pengganggu—jika kita meyakininya, namun lebih terhadap bahasa yang diajarkan kepada bayinya. Perilaku yang dididikkan kepada bayinya. Serta apakah kejujuran sudah ditanamkan atau belum, juga karakter-karakter yang baik pada bayinya? Dewasa ini, bangsa sebesar Indonesia tidak mampu membuahkan manusia yang berkarakter serta beradab. Kecurigaan saya yakni ketidakjujuran Indonesia atas jujurnya Nusantara.

Bahasa bayi, bahasa kejujuran. Sebab keterbiasaan ketidakjujuran menjadikan kejujuran menjadi wilayah asing untuk dipahami. Orang tua saat ini tak mampu menjawab pertanyaan kejujuran dari bayinya dengan bahasa yang begitu jujur. Mestinya balai bahasa itu membuat kamus bahasa bayi, agar kejujuran mampu mengakar kuat (kembali) di bangsa ini. Tetapi, piye ya, wong bangsa ini sudah menjadi bangsa yang tidak jujur. Serta dengan telanjang berkoar ketidakjujuran atas Indonesianya. Sementara, kejujuran atas Nusantara begitu pilu serta sendu bila dimainkan di musim kemarau ini.

Kapan kembalinya bahasa bayi beserta hujannya untuk menumbuhkan tanaman kejujurannya di tengah kemarau berkepanjangan yang tak berkesudah? Jawabannya terletak  pada bahasamu, bahasaku serta bahasa kita. Bisakah bahasa kejujuran kita tak lagi dimonopoli serta memonopoli lainnya. Serta untuk tidak lagi bermanufer atas ketidakberkuasanya kejujuran ini. Kembali menuju bahasa kesejatian yakni ketika tanpa bahasa dan suara yang bercabang, ketika bahasa manusia tanpa pretensi, tendensi dan aling-aling, manusia mampu memahami kesadaran sesama—minimal mampu jujur dan memahami dirinya, itu lebih dari cukup.

Sampai-sampai Badui di tanah Banten, sampai kini, masih tetap bersikukuh dengan kebudayaan kejujuran kepada alam. “Sesuatu yang panjang tidak boleh dipendekkan. Suatu yang pendek tidak boleh dipanjangkan.” Kiranya begitu yang sudah mengakar kuat di masyarakat kejujuran Badui.

Manusia setidaknya mampu menjadi bayi, menjadi kejujuran atas kuasa alam. Menyelaraskan diri dengan keadaan yang sudah menjadi ketetapan Tuhan. Bukan memanipulasi ayat-ayat untuk kepentingannya, sendiri, komunal, serta bangsanya. Maka, bangunlah dari ketidakjujuran yang sedang menjadi buai mimpi berkepanjangan ini, untuk menatap kejujuran di pagi yang abadi di hidupmu. Selamatlah bangsanya, selamatlah jiwanya, atas syukur pada pertiwinya. Bayi memang fenomena sepele yang sering kita temui di tiap jengkal waktu dan tanah yang terpijak.

 

Dzulhijjah 1435

Perintis Usaha Mata Production, mantan Kabiro Jateng dan wartawan Majalah Ruang Rekonstruksi. Menulis puisi, cerpen, esai, kolom. Penggiat Maiyah Kalijagan Demak.