Majlis Maiyah Telatah Demak

Grebeg Alit

Mukaddimah Maiyah Kalijagan Demak edisi 3 Agustus 2018

 

Kalau kita membuka lembar-lembar koran atau menonton tayangan berita televisi terkadang kita disuguhi suatu berita begini misalnya: terjadi penggrebegan di hotel anu oleh satpol PP. Kemudian, yang perlu kita pertanyakan adalah kata “grebeg” yang tiap waktu identik sebagai kata yang sepadan dengan “razia”, “sweeping”, dll. Apakah grebeg adalah tindakan yang baik atau buruk atau bergantung penggunanya? Padahal kalau kita mau menilik sedikit sejarah mengenai grebeg, kita akan disuguhkan suatu hal yang begitu membanggakan sebagai masyarakat Jawa. Hanya saja, semakin bergulirnya waktu, semakin bergantinya musim. Kita pun patut mempertanyakan dan memaknai suatu peristiwa yang terjadi.

Grebeg sendiri adalah festival musiman yang digelar untuk memperingati suatu pestiwa penting yang dilaksanakan masyarakat Jawa. Festival grebeg biasanya dilaksanakan pada bulan Syawwal (Grebeg Sawal), Dzulhijjah (Grebeg Besar), Muharram (Grebeg Asyura) dan Rabi’ul Awwal (Grebeg Mulud). Meski sebenarnya masyarakat Jawa masih memiliki banyak festival grebeg di momentum waktu lain. Hanya saja dari pihak keraton— mulai Demak, hingga Surakarta dan Yogyakarta— lebih memperkarsai keempat grebeg tersebut, ketimbang grebeg lainnya. Sehingga masyarakat kini, lebih mengenal grebeg-grebeg tersebut, khususnya Demak, lebih memperkenalkan Grebeg Besar.

Grebeg Besar dalam sejarah tercatat dimulai ketika era Kesultanan Demak. Sebagai suatu prosesi transformasi pengenalan hari raya Idul Adha kepada masyarakat. Kata “besar” yang dipakai dalam penamaan grebeg merupakan nama bulan Dzulhijjah di masyarakat Jawa. Namun dalam kamus bahasa Indonesia, “besar” memiliki arti yang berlawanan dengan kecil. Sehingga pada pergantian waktu, masyarakat jawa—khususnya kaum muda, yang kurang mengenali kebudayaannya— secara psiko mengartikan Grebeg Besar sebagai festival yang besar dan mengesampingkan peringatan Idul Adha-nya, suatu makna pengorbanan.

Jika besar kita maknai suatu yang terjadi dari hal-hal kecil dan atau yang berlawanan dari kecil. Maka perlu lah kita belajar mengenai kecil atawa alit. Bahwa yang besar hanyalah Allah, selain Dia, semuanya alit. Dengan itu, setidaknya akan tumbuh kesadaran-kesadaran untuk mengasorkan diri. Selain itu kita juga belajar bahwa segala yang besar atawaageng tidak bisa tercipta tanpa permulaan yang alit. Maka perlu kita tadabburi lebih mengenai Grebeg (yang tidak) Besar atawa Grebeg Alit. Maka gelaran Maiyah Kalijagan edisi 3 Agustus 2018 mengangkat tema Grebeg Alit, untuk kita sinau bareng di Universitas Sultan Fatah Demak pada pukul 20.00 WIB. [HBA/ Redaksi Kalijagan.com]

Majlis Masyarakat Maiyah Kalijagan Demak adalah bagian dari Majlis Masyarakat Maiyah Nusantara.