Majlis Maiyah Telatah Demak

Hoax dan Sifat Sosial Media

Beberapa bulan lalu, maiyah Semak Taddaburan mengangkat tema “warta sulaya”. Itu membuat saya tergelitik untuk membahasnya lebih. Warta sulaya secara pengetian milenial kids zaman now bisa disebut sebagai hoax. Hoax sendiri adalah fenomena, makhluk yang hidup menjamur pada sosial media. Sosial media mengambil peran sentral dalam hidupnya hoax atawa warta sulaya. Mengapa demikian? Mari kita urutkan persoalannya.

Sosial media menjadi jembatan antara dua orang dan/atau lebih. Sifatnya, tidak mengenal emosional pemakainya. Paling-paling, emosional hanya digambarkan dengan emotikon yang kelengkapannya kurang mewakili ketidakterhinggaan emosional pemakai—baik secara ekspresi maupun intonasi. Padahal dalam dunia nyata, terkadang kita mengalami miss comunication, ketidaktepatan menangkap dan memaknai ekspresi serta intonasi lawan bicara. Kita biasa menyebutnya dengan istilah salah paham—bukan paham yang salah ya. Dari sana, kita bisa berpikir—minimal membayangkan, apalagi sosial media. Akan begitu banyak salah paham yang terjadi.

Sosial media diciptakan tentu dengan struktur yang cenderung komplit. Mulai dari riset yang terus berkembang dan dikembangkan. Riset tersebut tercipta erat dengan perilaku manusia sekarang. Mulai kebiasaan, kesenangan, pekerjaan, domisili hingga suku dan agama juga dikembangkan sebagai personalitas dan identitas dalam tiap akun yang digunakan. Pernah berpikir tidak, bahwa sifat sosial media itu kepo. Bahkan keponya melebihi mantan yang pernah kita tinggalkan dan pacar yang sedang menjalani hubungan dengan kita dalam mengorek masa lalu. Dengan begitu artinya sosial media memiliki data mengenai diri kita. Tapi yang belum mereka punyai hanya emosional yang update tiap saat dari kita.

Salah satu sosial media yang sering kita pakai, faceb**k, beberapa waktu lalu, konon tersebar kabar bahwa sosial media tersebut sedang mengalami kebocoran data—para penggunanya. Padahal hal itu hanya sebatas tindak scrapping data yang dilakukan oleh pihak ketiga yang digunakan sebagai bahan risetnya. Scrapping sendiri adalah tindakan mengambil informasi sebanyak-banyaknya dari banyaknya akun sosial media. Hal itu bisa dilakukan dengan cara manual, maupun tools pihak ketiga itu tadi. Cara itu sebenarnya menjadi kewajaran yang terjadi dalam lingkaran internet maker: bisa operator sosial media, salah satu pemilik akun maupun para haker yang ahli dalam bidang tersebut. Tujuannya apa coba? Tujuannya adalah mencari target pasar mereka, menyampaikan informasi hingga mempengaruhi calon pembeli. Itulah penyalahgunaan yang terjadi dalam sosial media kita. Demi kepentingan dan hasrat segelintir kapitalis yang tak bisa saya sebutkan namanya.

Perlu diingat bahwa perilaku kita dalam menggunakan sosial media seperti update status, like, share, komentar, twitt, retwitt, dlsb., adalah tindakan yang terekam. Dari itu terciptalah suatu interest pada suatu hal, baik produk metah maupun matang, produk sandang, pangan dan papan, produk pemikiran, pemahaman hingga keyakinan, yang dilihat oleh internet maker. Bahkan ada beberapa sosial media yang sifatnya, ketika akun si A membenci atau tidak suka pada suatu hal, maka yang si A temukan pada beranda umumnya adalah hal-hal negatif dari yang ia benci dan tak sukai. Meski, hal itu memiliki kecenderungan yang baik. Seolah manusia sosial media dipaksa bersikap linier. Kalau manusia sekali berbuat salah, maka framingnya akan jadi antagonis selamanya. Begitu pun sebaliknya. Padahal, manusia itu makhluk dinamis, yang bisa melakukan keburukan di pagi hari, namun di siang hari, ia melakukan kebaikan.

Begitulah kejamnya sosial media, yang kadang lebih kejam dari ibu kota. Dari banyaknya kecenderungan itu, yang spesifikasinya lebih pada hal buruk. Maka sangat penting kita berhati-hati. Terakhir saya mau mengutip satu ayat di surat Al Hujurat. Wahai orang-orang beriman, jika ada seorang fasiq datang kepada kalian dengan membawa suatu berita penting, maka tabayyunlah (teliti dahulu) agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan, kemudian akhirnya kalian menjadi menyesal atas perlakuan kalian.

Trimo Mamo, pengusaha gendar, tinggal di Tembiring, Demak. Bergiat di simpul Maiyah Kalijagan.