Majlis Maiyah Telatah Demak

Cahaya Dari Demak

Reportase Majlis Maiyah Kalijagan edisi Selasa Legi, 21 Ramadlan 1439/ 5 Juni 2018 | Bedah Buku: Cahaya Maha Cahaya, Emha Ainun Nadjib

 

Cahaya Maha Cahaya adalah buku karya Emha Ainun Nadjib (Mbah Nun) yang menjadi puncak dari rangkaian acara Sinau Nulis, yang diselenggarakan Kalijagan dan Tanbihun. Buku tersebut merupakan kumpulan puisi yang terbit tahun 1991, yang ditulis pada rentang tahun 80an. Selasa, 5 Juni 2018, pukul 20.30, acara dimulai dengan menyapa manusia cahaya, Muhammad shallaAllahu’alaihi wasallam, cahaya panutan umat manusia. Selama satu jam kami berdendang, bersenandung membaca maulid dan shalawat atas rindu kita dan yang menjalankan tugas mengiringi senandung shalawat adalah Rebana Tanbihun. Tapi menariknya, dari beberapa personil Rebana Tanbihun, ternyata terselip penggiat Kalijagan, kang Ipnu yang mengagetkan kami dengan kepiawaian memainkan rebana bersama sedulur-sedulur Tanbihun. Sungguh cahaya.

Kang Hajir memulai memberi pengatar diskusi, bahwa kalau kita melihat Mbah Nun dalam puisi-puisinya, kita diajak kembali mengingat seorang sufi bernama Rabi’ah Adawiyah. Sementara Mas Arafat memulai memberi pengantar dengan pendapat bahwa dari Mbah Nun kita belajar sesungguhnya puisi yang indah itu tidak menawarkan kehadiran diksi yang terlalu banyak bunga kata, penyusunan frasa, baris dan kalimat yang menghadirkan banyak metafora namun miskin makna. Dari puisi Mbah Nun sesungguhnya kita sedang diingatkan bahwa kesejatian puisi terletak pada nilai yang diangkat seorang penyair dengan kemasan kata dan kalimat sederhana.

Dua point pengatar itu yang kemudian membuat kang Ahyar terpantik untuk membahas satu puisi berjudul “Tak Kunjung”. Kang Ahyar merasakan dalam puisi itu, amal-amal yang dikerjakan manusia bukanlah jaminan manusia untuk mendapat ridlo Allah, bertemu Maha Cahaya. Melainkan lebih pada kesadaran, ketulusan, keikhlasan dan kemurnian manusia menjadi seorang hambaNya. Sebab Allah kelak akan memilih hambaNya bukan berdasarkan kalkulasi amal yang dikerjakan manusia, melainkan pada kasih sayang yang Allah curahkan kepada manusia itu.

Setelah itu, kang Mamo, kang Ryan dan Mas Arafat secara bergantian membacakan puisi-puisi Mbah Nun dalam buku Cahaya Maha Cahaya. Seusainya sesi pembacaan puisi, forum pun dilepas Kang Hajir kepada para jamaah, untuk dibahas, dielaborasi dan ditadabburi bersama ke dalam sub-sub nilai hidup yang kita rasakan. Suasana bedah buku berubah yang awalnya seperti bedah buku yang bertumpu pada satu, dua sampai tiga orang pembedah berganti semua yang datang adalah pembedah yang harus bersuara dan berbicara. Suasana semacam itu yang akan kita jumpai ketika hadir di Tadabbur Daur yang digelar Gambang Syafaat tiap bulan, rabu kedua di RKSS.

Secara garis besar, menurut Mas Arafat, Cahaya Maha Cahaya adalah adanya laku peniadaan, penghancuran, pemusnahan keakuan—akunya Mbah Nun sebagai penulis— untuk hidup dalam Aku yang lebih besar, lebih abadi dan lebih cahaya, yakni Allah. Kang Ahyar juga menambahkan bahwa Cahaya Maha Cahaya mengingatkan kita mengenai kalimat syahadat “Laa Ilaha illa Allah”. Bahwa frasa pertama, Allah menafikan makhluk-makhluknya, meniadakan segalanya dalam “Laa Ilaha”, tidak ada apa-apa. Namun di frasa berikutnya sebagai pelengkap kalimat “Illa Allah”, kecuali Allah, yang ada hanyalah Allah. Oleh sebabnya, seseorang yang tauhidnya jelas, syahadatnya jelas, ia pasti akan mengakui bahwa yang ada hanyalah Allah.

Lalu, seorang pemuda Tanbihun yang enggan menyebut namanya mengurai, menadabburi judulnya saja. Dengan rendah hati ia berkata “Berhubung aku wong ndeso ora ngerti opo-opo, tur yo durung tau moco buku iki. Nek seko judule Cahaya Maha Cahaya, aku nyawange kok Cahaya iku Mbah Nun dan Maha Cahaya itu Allah.” Maksudnya buku Cahaya Maha Cahaya adalah suatu cahaya, sebab Mbah Nun yang diwakili teks puisinya sudah menjadi cahaya. Namun ada yang lebih cahaya dari Mbah Nun dan puisinya, yakni Maha Cahaya, Allah itu sendiri. Bisa jadi demikian karena dalam puisi “Jalan Sunyi”, Mbah Nun menyatakan “puisi yang kusembunyikan dari kata-kata”.

Malam itu, Kang Hajir lebih memilih memandu diskusi daripada merespon, meski beliau seorang ilmuwan sastra yang juga menjadi dosen bahasa dan sastra di universitas swasta di Semarang. Malam itu, Kang Hajir mempersilahkan Mas Joko Purnomo memuncaki diskusi dengan pemahamannya mengenai Maha Cahaya. Sebab beliau satu-satunya orang yang hadir, yang memiliki kapabilitas berbicara mengenai hal-hal yang sifatnya bathiniyah.

“ Lafadh Allah itu lamnya dua. Lam yang satu itu menunjukkan Allah itu Maha Baik, lam yang kedua itu Allah Maha Sadis. Tapi Allah menyembunyikan dua lam itu jadi satu lam yang ditasydid. Sehingga kita lebih seringnya tahu bahwa Allah itu Maha Baik daripada Maha Sadis, maupun sebaliknya.” Tutur Mas Joko mengawali sesi puncak diskusi buku Cahaya Maha Cahaya. Selama kurang lebih satu jam Mas Joko mengurainya dengan ilmu-ilmu hikmah, tasawuf dan kebathinan. Pada puncaknya, usai Mas Joko, Bedah Buku Cahaya Maha Cahaya ditutup dengan indal qiyam, menyapa dan memanjatkan puji kepada Kanjeng Nabi Muhammad. Setelah itu mushafahah, menguatkan ikatan hati satu sama lain sebagai makhluk Allah dan sebagai manusia. Begitulah sedikit cahaya yang dipancarkan sedulur Maiyah Kalijagan Demak pada 5 Juni 2018, di desa terpencil, Bomo, Getas, Wonosalam, Demak. [Redaksi Kalijagan.com]

Majlis Masyarakat Maiyah Kalijagan Demak adalah bagian dari Majlis Masyarakat Maiyah Nusantara.