Majlis Maiyah Telatah Demak

Perubahan yang Maiyah Inginkan

Obama hadir sebagai sosok pemimpin yang membawa mantra “change” perubahan. Setiap pemilu datang maka telinga kita tidak bisa menghindar dari seruan perubahan, ganti, harapan, dan kalimat-kalimat sejenis. Dari pemilu tingkat desa hingga pemilihan presiden, seruan ini akan kencang terdengar. Perubahan seperti apakah yang sebenarnya diinginkan?

Di sisi lain atau lawan dari kubu yang menghendaki perubahan adalah kubu lanjutkan. Susilo Bambang Yudhoyono pada periode pertama menyeru “perubahan’ dan pada periode kedua membawa mantra “lanjutkan”.

Dalam pertarungan itu kadang seruan perubahan, kebaruan, ganti berhasil menggulingkan kekuasaan yang ingin lanjutkan, kadang juga tidak. Bertahun-tahun selalu terulang begitu-begitu saja dan sampai hari ini kita tetap begini-begini saja. Kita terperangkap pada drama guling mengguling hingga lupa subtansi sebuah pemerintahan diselenggarakan. Bahkan kita lupa menilik siapa sebenarnya yang perlu kita menangkan.

Tulisan ini akan membahas tentang perubahan yang diinginkan oleh Maiyah. Apa bedanya dengan perubahan yang dinginkan oleh komunitas lain, kelompok lain? Sebelum membahas ke sana saya mengajak untuk berpikir tentang menang dan kalah terlebih dahulu. Ini penting karena akan menentukan langkah perjuangan kita. Kemenangan seperti apa yang kita inginkan, menentukan perubahan seperti apa yang kita inginkan. Ini terkait.

Mbah Nun, marja kita membahas dalam banyak tulisan beliau tentang menang kalah ini. Dalam tulisan berjudul “Menang Kalah, Hina Berkah”, Mbah Nun membahas tentang skala kemenangan, ukuran kemenangan. Beliau mengajak kita untuk berpikir, sebenarnya yang ingin kita menangkan itu diri kita pribadi atau kepentingan yang lebih besar bernama Indonesia? Kita rebut-ribut sepanjang hari membuat gaduh seisi negeri itu kemenangan siapa yang diinginkan? Jika benar kemenangan yang kita perjuangkan adalah kemenangan Indonesia maka kita tidak perlu ngotot-ngotot amat berkelai dengan saudara kita, toh? Tidak apa-apa kita kalah asal kekalahan saya ini demi kemenangan yang lebih luas, mampu, bersedia bersikap seperti ini?

Kita cenderung berpikir, kemenangan Indonesia harus bersama dengan kemenanganku jika tidak begitu tidak usah saja. Sekap seperti inilah yang membuat kita tidak pernah beranjak dari masalah yang sama.

Cara memenangkan juga dapat digunakan untuk menilik tujuan, Mbah Nun dalam tulisannya berjudul “Menang menurut Apa dan Siapa” memaparkan tentang cara-cara meraih kemenagan. Katanya “Seseorang atau sejumlah orang mencapai kemenangan untuk menjadi pemimpin formal atau menjadi apapun di panggung negara atau masyarakat, tapi mencapai itu melalui pemalsuan citra, mobilisasi cara pandang publik, provokasi emosi, rayuan-rayuan palsu lewat berjenis-jenis media informasi dan komunikasi. Itu bukanlah kemanusiaan. Itu kemenangan kekuatan pembodohan, pemalsuan dan kriminalitas atas nilai-nilai sejati kehidupan”.

Berulangkali disampaikan dalam berbagai kesempatan bahwa hidup ini bukan diakhiri dengan mati. Antara dunia dan akhirat itu bukan sesuatu yang terpisah tetapi berkelanjutan. Kita beragama, beriman itu untuk menghadirkan kesadaran itu. Inilah yang menjadikan ukuran kemenangan tidak hanya terbatas kemenangan dunia tapi harus tembus ke kemenangan akhirat. Kemenangan juga atas kesadaran, kira-kira Allah ridla apa tidak dengan yang aku lakukan ini.

Dalam tulisan lain berjudul “Beratnya Menang Lillah” beliau mengajak untuk berpikir pada jalan menuju kemenangan karena susungguhnya kemenangan itu ditentukan oleh Allah. Kemenangan itu ada di tangan Allah sedangkan manusia yang terpenting adalah berada di jalan Allah. Mengapa begitu, karena hanya Allah lah yang tahu itu kemenangan atau tidak – karena bisa saja yang kita anggap kemenangan ternyata kemenangan semu. Lebih baik kita konsentrasi pada jalan, jalan Allah.

Kita kembali ke perubahan, kasus yang sering terjadi perubahan tidak menyelesaikan masalah karena perubahan yang terjadi hanya perubahan posisi dengan watak, nafsu, dan kerakusan yang sama. Siapapun yang menang dalam adu “berubah VS lanjutkan” itu tidak mampu menjadi pancatan bagi bangsa ini untuk bangkit.

Pertama kita harus memperbaiki niat, niat saja tidak cukup karena banyak yang mulanya niatnya baik tetapi setelah lingkungan mendukung untuk mencuri maka mencuri juga. Setelah niat dibutuhkan daya tahan dan konsistensi, istiqomah. Anak muda biasanya kritis tetapi setelah ia menjabat daya kritis itu hilang, bagaimana caranya kekritisan ala anak muda bertahan hingga kapan pun dan dalam posisi apapun.

Yang penting bukan orangnya tetapi akhlaknya, tidak harus kita, boleh kamu-boleh dia yang terpenting berakhlak baik. Ia yang mengganti adalah orang yang menjalankan nilai. Ia yang mengubah adalah orang yang hanya menjalankan peran perubahan karena sebenarnya dirinya itu tidak penting, peran yang ia emban itulah yang penting.

Perjuangan demikian membutuhkan daya tahan yang luar biasa maka kita harus memiliki nafas panjang, ilmu maiyah juga mengajarkan kepada kita agar lentur, karena kaku akan mudah patah dan lembek tidak kuat menahan beban.

Kita tanam dalam dada kita sikap nadur, pasa, sedekah. Kita menanam terus, tetapi kita menahan diri untuk menikmati dan kita terus memberi untuk Indonesia sampai pada saatnya yang kita cita-citakan tercapai. Kita terentas dari lingkaran setan perubahan, ganti mengganti yang tidak berarti karena yang diganti hanya manusianya dengan sikap dan sifat yang sama saja. Allah pemimpin kita, rasulullah teladan kita.

Dosen di Universitas PGRI Semarang. Penulis buku Soko Tatal dan kumpulan cerpen Di Atas Tumpukan Jerami. Penggiat di Simpul Gambang Syafaat Semarang dan Maiyah Kalijagan Demak.