Majlis Maiyah Telatah Demak

Manusia Rohani dari Desa

Reportase Majlis Maiyah Kalijagan edisi Jum’at Legi, 6 April 2018/ 20 Rajab 1439 | Desa Purwa | bagian keempat

 

Masing-masing dari kita memiliki asal-usul, namun asal-usul kita itu yang mana, itu yang susah kita cari, kalau hanya mengandalkan mekanisme ilmu dan pengetahuan dari jalan akademis. Maka saya memiliki inisiatif untuk mencari, mengumpulkan dan merangkai dari hal yang saya anggap sebagai point blank. Hampir mirip dengan kerjanya arkeolog, tapi saya bukan arkeolog, karena arkeolog menemukan bukti kongkrit berupa candi, gerabah dan lainnya, kemudian ia bisa menjelaskan secara mendetail. Namun, kami sama-sama menemukan sak potong, tapi bisa menjelaskan sak genthong.

Begitulah yang disampaikan mas Agus Wibowo sebelum menyentil mengenai asal-usul kita. “Kalau asal-usul kita Indonesia, kan peradabannya lebih komanditer. Lalu peradaban-peradaban mana yang menjadi asal usul kita. Kan soyo angil digoleki.” Sentilnya sebelum membahas lebih mendalam. Mas Agus melihat perilaku yang sangat mulia dari Nusantara. Hal itu bisa dilihat dari kesadaran utama manusia Nusantara adalah manusia-manusia rohani, sementara urusan jasad menjadi persoalan kesekian.

Beliau menjelaskan perilaku manusia Nusantara yang berani tanding jika ada yang berani mengusik tempat peribadatan, tempat yang bisa mendekatkan dengan yang Maha Ada. Mas Agus mencontohkan jika ada yang berani mengusik Masjid Agung Demak, Candi Prambanan atau tempat ibadah lainnya, maka tak akan ada toleransi bagi pelakunya. Sementara jika ada yang mengusik kerajaan, pemerintahan, kekhalifahan atau yang lainnya, masyarakat Nusantara tidak akan terusik sedikit pun.

Sebelumnya di sesi pertama, dalam skala mikro, kang Afiz Amna, warga desa Sidorejo, Karangawen, Demak menceritakan asal usul desanya. Asal usul mengapa di desanya, burung-burung masih berkicau dan terbang secara bebas di desanya. Asal usul mengenai tulisan “Jangan menembak burung, memulut burung atau menangkap burung dengan cara apapun, atau engkau akan mendapat hukuman alam yang akan diberikan”.

taken by: Labeb Fuadi

Kisahnya, dahulu di desa Sidorejo, burung-burung masih terbang bebas melenggang kesana-kemari, hinggap di ranting-ranting pohon, atap-atap rumah. Ada satu burung yang suaranya begitu khas di desa tersebut. Burung itu berjenis perkutut. Semua warga mengenal suara burung perkutut yang saban hari selalu berkicau mengelilingi desa.

Suatu ketika, suara burung perkutut itu hilang. Setelah diidentifikasi kepergiannya, ternyata burung tersebut ditangkap salah satu warga, ditaruh di dalam sangkar di pelataran rumahnya. Tak disangka oleh penangkap burung itu, dua minggu setelahnya, istrinya jatuh sakit. Berselang beberapa hari, orang itu mendapati mimpi orang tua yang berpesan kepadanya untuk melepaskan burung tersebut, jika menginginkan istrinya sehat kembali. Alam akan membalas apa yang diperbuat manusia atas kerusakan pada alam, sementara burung memiliki kemerdekaan untuk terbang. Jika burung tidak diberikan kemerdekaan, maka manusia pun sama. Begitu pesan orang tua yang diketahui bernama Mbah Jogo.

Setelah mendapati mimpi itu, keesokan harinya, orang itu melepaskan burung tersebut. Benar apa yang dipesankan Mbah Jogo padanya, istrinya pun sembuh. Namun berselang sehari usai kesembuhan istrinya, istrinya harus berpulang ke haribaan Allah. Hingga akhirnya tetua desa Sidorejo yang diketahui adalah ayah dari kang Muhajir Arrosyid, meminta warga untuk tidak merusak alam, khususnya burung yang tinggal di desa tersebut. Akhirnya di tiap sudut desa, gang-gang kampung diberikan tulisan larangan tersebut. Sebab dahulunya memang Mbah Jogo sempat berwasiat semacam itu.

Kang Muhajir sendiri menambahkan bahwa, orang-orang dahulu hidupnya begitu mulia, mereka tidak memiliki suatu hal yang menyimpang. Semisal orang ketika makan burung, ayam dan hewan lain, juga tanaman, mereka hanya ingin melangsungkan hidup. Itu pun tidak sendiri, tapi bersama-sama. Itu pun secukupnya, tidak semuanya. Sementara di kasus yang terjadi di desanya, disebabkan karena penyimpangan berupa kerakusan dan kepemilikan pribadi (privatisasi). Sementara orang modern kendalanya adalah semakin memperbanyak penyimpangan untuk menggusur hak-hak orang lain. [HBA/Redaksi Kalijagan.com]

Majlis Masyarakat Maiyah Kalijagan Demak adalah bagian dari Majlis Masyarakat Maiyah Nusantara.