Orang Demak punya hubungan yang dekat dengan orong-orong, seekor hewan sejenis serangga yang hidup di tanah. Orong-orong adalah hewan yang menyertai kisah pembangunan Masjid Agung Demak, sebuah masjid peninggalan Walisongo yang masih berdiri hingga sekarang.
Saat itu membangunan masjid Agung Demak dimulai, kanjeng Sunan Kalijaga, datang terlambat. Ia tidak mendapatkan kayu utuh sebagai tiyang utama. Disusunlah serpihan-serpihan tatal menjadi satu, diikat dan menjadi tiyang yang kokoh. Di sela pekerjaan itu ada seekor orong-orong yang terputus kepalanya. Terpisahlah antara kepala dan tubuh orong-orong itu. Kanjeng Sunan merasa menyesal atas perbuatannya. Diambilnya serpihan kecil kayu jati untuk menyatukan kembali antara kepala dan leher hingga orong-orong itu bisa hidup dan lari kembali.
Mungkin itu mitos, cerita belaka, tetapi cerita tentang wali tentu saja bisa diambil hikmahnya. Di balik cerita itu tentu saja kita dapat mengambil pelajaran karena pasti ada sesuatu yang dititipkan sebagai ilmu. Dari saka tatal misalnya kita bisa mengambil pelajaran bahwa dari sisa-sisa, sesuatu yang tidak terpakai, yang biasanya dibuang dan dicampakkan, jika dihimpun dan disatukan maka memiliki daya guna. Maka bersatu menjadi memiliki arti, berjamaah akan menjadikan kita kuat.
Mbah Nun, Emha Ainun Nadjib dalam tulisan dan paparannya sering menganalogikan tentang kisah orong-orong ini. Bahwa antara kepala yang isinya akal dan pikiran haruslah tidak boleh terpisah dengan badan yang di sana ada hati, perasaan. Karena apabila kepala tanpa badan, ia yang berpikir tanpa menggunakan hati, sedangkan badan tanpa kepala bagaikan perasaan tanpa akal. Masyarakat Jawa membutuhkan semuanya maka dibutuhkan penyambung leher yang menghubungkan antara kepala dan badan yang terputus itu. Kedudukan leher menjadi sangat penting mengingat keterhubungan antara kedua unsur ini niscaya akan menjadikan manusia tidak sekedar bangkai.
Dalam terminologi masyarakat, maka ada golongan yang berperan sebagai kepala, ada yang sebagai badan. Dan dibutuhkan yang bersedia menjadi leher, penghubung antara keduanya agar kehidupan masyarakat tegak berjalan menatap dan melangkah dengan tegap dan gagah. [MA/ Redaksi Kalijagan.com]