Majlis Maiyah Telatah Demak

GAGAL RE-KREATIF

Setiap libur panjang tiba, jalan-jalan penuh, stasiun sesak, bandara riuh. Orang-orang bergerak ke mana-mana atas nama rekreasi. Anehnya, semakin ramai liburan, semakin sering kita mendengar keluhan: capek, stres, macet, boros, dan pulang tanpa rasa pulih. Seolah-olah liburan hanyalah versi lain dari kelelahan, hanya dengan latar yang berbeda. Di titik ini, mungkin masalahnya bukan pada destinasi, melainkan pada pemahaman kita tentang apa itu “rekreasi” dan apa yang seharusnya dicipta ulang di dalamnya.

Secara makna, rekreasi berasal dari gagasan re-creation (mencipta kembali). Bukan sekadar bersenang-senang, apalagi sekadar pamer pengalaman. Rekreasi mengandaikan adanya sesuatu yang aus, lelah, atau kusut dalam diri manusia, lalu diberi ruang untuk ditata ulang. Namun yang sering terjadi, tubuh memang libur, tetapi pikiran tetap bekerja, emosi tetap tegang, dan perhatian tetap tercerai oleh notifikasi. Kita berpindah tempat, tapi tidak sungguh berpindah keadaan batin.

Hal pertama yang semestinya dicipta ulang dalam rekreasi adalah daya hadir. Hadir sepenuhnya pada momen, pada suasana, pada orang-orang yang bersama kita. Banyak orang sudah sampai di tempat wisata, tetapi pikirannya masih tertinggal di kantor atau tenggelam di layar gawai. Padahal, tanpa kehadiran, tidak ada pengalaman yang benar-benar dialami. Rekreasi tanpa kehadiran hanya menghasilkan foto, bukan pemulihan. Tubuh ada di sana, tetapi jiwa tetap tercecer di tempat lain.

Yang kedua adalah relasi kita dengan waktu. Dalam keseharian, waktu sering hadir sebagai tekanan: jadwal, target, tenggat. Anehnya, saat liburan pun, pola itu terbawa. Kita dikejar itinerary, takut ketinggalan momen, sibuk mengejar “yang viral”. Rekreasi seharusnya justru menjinakkan waktu, membiarkan lambat tanpa rasa bersalah. Ketika waktu tidak lagi menjadi algojo, di situlah manusia mulai bernafas dengan utuh.

Yang ketiga, dan ini sangat khas Nusantara, adalah makna kebersamaan. Rekreasi bukan hanya soal diri sendiri, tetapi soal “kita”. Makan bersama tanpa tergesa, berjalan tanpa saling mendahului, duduk tanpa sibuk sendiri-sendiri. Ironisnya, banyak liburan justru menjauhkan orang-orang yang secara fisik sedang berdekatan. Masing-masing tenggelam di dunianya sendiri. Padahal, salah satu sumber pemulihan terdalam manusia adalah rasa ditemani dan menemani.

Dan yang keempat, rekreasi juga menyentuh orientasi makna diri. Tidak harus berupa refleksi berat atau perenungan panjang. Cukup ruang sunyi kecil untuk bertanya jujur: aku sedang hidup ke mana, dan bersama siapa. Rekreasi memberi jarak dari rutinitas agar kita bisa melihat hidup dari sudut yang sedikit berbeda. Jika pulang liburan tanpa kejernihan apa pun, mungkin yang terjadi hanyalah jeda, bukan pemulihan.

Maka, kontradiksi liburan modern menjadi jelas. Kita menyebutnya rekreasi, tetapi yang dicipta ulang sering kali hanya kelelahan dalam bentuk lain. Jalan macet, tempat padat, dompet menipis, dan hati tetap penuh. Padahal, rekreasi sejati tidak selalu jauh dan mahal. Ia hadir ketika kita berhasil mencipta ulang kehadiran, memperbaiki relasi dengan waktu, menghidupkan kebersamaan, dan menyelaraskan kembali makna diri.

Akhirnya, mungkin liburan tidak perlu selalu ditanya: ke mana kita pergi? Pertanyaan yang lebih jujur adalah: apa yang pulang bersama kita? Jika yang kembali hanyalah lelah dan frustrasi, maka rekreasi gagal menjalankan maknanya. Tetapi jika yang pulang adalah kejernihan, kehangatan, dan rasa cukup, maka di situlah rekreasi menemukan kembali arti sejatinya: mencipta ulang kehidupan, meski sebentar, agar kita bisa melanjutkan hidup dengan lebih waras.

Pengasuh Kalatara Channel