Setiap memasuki musim penghujan, kabar banjir ada di mana-mana. Di desa, di kota, di pesisir, bahkan di daerah pegunungan juga. Pada akhir bulan November 2025, kita dikejutkan dengan berita banjir besar dan tanah longsor yang menerjang daerah Sumatra. Ada tiga provinsi yang sangat terdampak, yaitu Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan Aceh. Tentunya, bencana ini banyak menelan korban jiwa dan luka, memporak-porandakan permukiman warga, serta meluluhlantakkan infrastruktur jalan, jembatan, dan bangunan fasilitas umum lainnya. Sehingga jumlah pengungsi melonjak lebih dari satu juta manusia, yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ada yang menyebut bencana ini terjadi karena intensitas hujan yang tinggi atau akibat cuaca ekstrem, dan ada juga yang mengatakan banjir dan tanah longsor disebabkan oleh keserakahan segelintir manusia yang mengalihfungsikan hutan menjadi perkebunan. Yang pasti, terjadinya bencana akibat ulah tangan manusia.
Dalam Al-Qur’an, hujan merupakan salah satu tanda kebesaran Allah SWT. Rahmat, pembersih, sumber penghidupan, dan sebagai pengingat akan kekuasaan-Nya yang mengatur alam semesta dengan seimbang. Allah Swt. menurunkan hujan dari langit dengan ukuran yang pas untuk menghidupkan tanah yang mati, sebagai minuman, serta menunjukkan bahwa kehidupan manusia seluruhnya bergantung pada-Nya. Sedangkan banjir adalah azab Allah SWT. kepada kaum yang ingkar dan kufur nikmat, namun juga bisa sebagai ujian keimanan dan ketakwaan manusia. Terutama seperti kisah Nabi Nuh as. serta kaum Saba’ yang diazab Allah Swt. dengan bencana banjir karena kekufuran mereka. Kisah ini bertujuan menjadi peringatan kepada manusia agar pandai bersyukur, menjaga alam, dan kembali ke jalan yang benar.
Bencana banjir dan tanah longsor, di satu sisi menunjukkan kekuasaan Allah Swt. dan di lain sisi merupakan bentuk tanggung jawab manusia sebagai khalifah, di mana bencana alam sering terkait dengan perbuatan manusia. Peristiwa bencana musiman yang terus kita alami dan rasakan setiap tahunnya dapat kita tadabburi dengan muhasabah diri. Pada dasarnya, ada satu intensitas ruhani tertentu dari hidup manusia yang perlu kita tumbuhkan. Yakni, tempat Tuhan begitu mutlak, tempat pahala begitu sakral, dan dosa begitu menakutkan. Intensitas ini tentunya bergantung pada bagaimana seseorang mengolah dirinya dalam hidup. Namun demikian, hal itu sebenarnya naluriah saja. Bahkan orang yang tidak mengenal konsep dosa dalam agama pasti tahu bahwa merusak alam dapat merugikan diri sendiri. Ada juga yang merasionalisasi: karena hutan dibabat secara masif untuk diganti dengan lahan sawit, hal itu dapat merusak sistem ekologis.
Manusia dengan kecerdasannya berhasil menaklukkan alam, menggenggamnya, mengeksplorasinya, mengeksploitasinya, menyulapnya menjadi surga impian tanpa memikirkan akibat kerusakan yang akan ditimbulkan. Naluri dan rasionalitasnya memudar demi kelayakan-kelayakan hidup yang irasional dan mubazir, bagai direncanakan untuk menyegerakan berbagai kehancuran yang ditutup-tutupi. Ditambah lagi, kesadaran tentang dosa begitu sulit diperoleh; rumusan dosa menjadi tak begitu penting. Konsep dosa tidak memiliki fungsi di hampir setiap kebijaksanaan yang menyangkut orang banyak. Konsep dosa hanya tersisa di bagian pinggiran dari urusan pokok masyarakat.
Rahmat Allah yang berupa hujan kini berubah menjadi bencana. Keberkahannya berganti menjadi kerusakan, kesusahan, dan penderitaan. Hujan yang menyebabkan terjadinya bencana banjir dan tanah longsor ini bisa jadi cara Allah Swt. mengingatkan kelalaian kita atas kesadaran rohaniah yang selama ini tertutupi oleh kepentingan nafsu dan ego. Namun, bisa juga sebagai ujian keimanan dan ketakwaan manusia, atau jangan-jangan Allah Swt. murka kepada manusia yang ingkar dan kufur atas nikmat-Nya. Semua kemungkinan itu, yang pasti Allah Swt. sayang kepada kita semua agar kita kembali menempuh jalan-Nya.
Wallahu a’lam.








