Majlis Maiyah Telatah Demak

Dari Proses Hingga Syariat dan Hakikat

Reportase Majlis Maiyah Kalijagan edisi Jum’at Pahing, 17 Ramadlan 1439/ 1 Juni 2018 | Sinau Nulis: Kelas Puisi

 

Sinau Nulis merupakan edisi khusus Kalijagan di bulan Juni 2018, karena bertepatan dengan bulan ramadlan. Selain itu ada permintaan dari Pemuda Tanbihun yang ingin belajar menulis dari penggiat Kalijagan. Maka dilaksanakanlah Sinau Nulis yang bertempat di aula Tanbihun, Bomo, Getas, Wonosalam, Demak, dari tanggal 1 hingga 5 Juni 2018, tiap pukul 20.30 WIB. Sinau Nulis dibagi menjadi Kelas Puisi, Kelas Esai, Kelas Reportase dan Bedah Buku. Sinau Nulis dimulai dengan Kelas Puisi pada hari Jum’at, 1 Juni 2018 bareng mas Yanto dan Mas Arafat.

Kami kira jumlah peserta hanya berkisar 3-7 orang saja, tapi ternyata jumlah pesertanya lebih dari 15 orang. Suatu kejutan yang Allah berikan kepada kedua narasumber yang tidak terlalu populer di dunia literasi. Namun karena keikhlasan mereka berbagi dan menerima, Kelas Puisi berlangsung mengalir dan gayeng dalam balutan guyonan yang diciptakan mas Yanto.

Mas Yanto memulai pada pukul 08.45, bercerita mengenai proses kreatifnya dalam menulis puisi. Proses yang membuatnya harus memutar ingatannya ketika masih lajang. Saat pertama kali menulis puisi, tahun 2004. Bagaimana penderitaan yang dialaminya itu dialihkan menjadi kenikmatan dalam menulis puisi. Ia menikmati itu sebagai media mengenal dirinya dan lebih mendalam, mengenal Allah. Sampai malam itu tercatat mas Yanto sudah menulis, kurang lebih, 100 puisi. Selebihnya, selama satu jam, mas Yanto menceritakan pengalaman dan proses kreatifnya.

Selanjutnya, Mas Arafat berbicara mengenai teori kepenulisan puisi. Ia memulai dengan menyitir surat Asy Syu’ara ayat 224-227, yang menyinggung soal penyair. “Kalau Al Qur’an saja menyirit ayat mengenai penyair, apakah kalian tidak mau menjadi bagian yang disitir Al Qur’an?” celetuknya memantik para peserta Sinau Nulis. Lalu ia menyinggung pengetahuan yang ia dapatkan ketika masih pesantren. Bahwa manusia yang melakukan syariat tanpa hakikat itu bagai orang pincang, sementara manusia yang melakukan hakikat tanpa syariat bagai orang buta.

Begitu pun yang mesti dipahami oleh kita, yang akan memulai menulis, khusunya puisi, harus memahami dahulu syariatnya menulis. Yakni paham tata bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Sebab Mas Arafat meyakini, semua yang hadir sudah memiliki puisi, hanya saja belum dituangkannya dalam bentuk sya’ir. Itulah yang mesti kita pahami, mengapa penulis puisi disebut penyair, bukan pemuisi atau puisiwan. Karena sejatinya puisi adalah nilai-nilai dan peristiwa yang dialami oleh manusia. Sementara yang ditulis oleh penyair adalah syair yang memiliki keterikatan dengan syariat bahasa Indonesia. Meski begitu, ia juga menceritakan bagaimana politik mempengaruhi tata bahasa Indonesia dari zaman ke zaman.

Selama setengah jam, Mas Arafat memaparkan teori. Lalu mengajak para peserta menulis puisi selama 30 menit. Setelah itu beberapa peserta diminta membacakan puisinya untuk menyegarkan nuansa. Lima orang berani, dengan berdiri, ndodok, duduk dan gayanya masing-masing dalam membacakan puisinya. Semua peserta bergembira, ketawa bahagia, sesekali diam, meresapi puisi yang dibacakan saudaranua. Setelah lima peserta membacakan puisinya, kemudian Mas Yanto melanjutkan dengan membaca puisi juga. Semua peserta seksama mendengarkannya.

Sebelum diakhiri, pada pukul 00.00, kang Ahyar membuka sesi tanya jawab. Penanya pertama, menanyakan apakah semua puisi itu lahir dari suatu kesedihan, musibah dan bencana yang terjadi dan tampak seperti suatu curhatan? Penanya kedua, menanyakan seperti apa kenikmatan yang dirasakan dari puisi? Mas Arafat menjawab bahwa tidak semua puisi itu dilahirkan oleh kesedihan, musibah dan bencana, tapi wilayah itu adalah hak personal bagi seorang penyair, biasanya disebut licencia poetika. Pertanyaan kedua, kenikmatan itu baginya, sebagai penulis ia menganalogikan sebagaimana orang yang kecanduan rokok. Sementara kenikmatan pembaca, Mas Arafat membaca karya yang mampu menembus hati dan pikirannya.

Sinau Nulis Kelas Puisi diakhiri dengan mushafahah sembari melantunkan sholawat betawiyyin. Allahumma sholli ‘ala sayyidina Muhammad wa asyghili dholimin bi dholimin, wa akhrijna min baini salimin, wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. Sampai bertemu di kelas berikutnya, Kelas Esai pada hari Ahad, 3 Juni 2018. Kelas Reportase pada hari Senin, 4 Juni 2018 dan Bedah Buku Cahaya Maha Cahaya karya Mbah Nun pada hari Selasa, 5 Juni 2018. Tentunya di jam dan tempat yang sama. [Redaksi Kalijagan.com]

Majlis Masyarakat Maiyah Kalijagan Demak adalah bagian dari Majlis Masyarakat Maiyah Nusantara.